Aku teronggok dalam gudang penuh debu selama dasawarsa. Yang menemaniku hanyalah sepeda mini keok berwarna kelabu. Setiap hari ia menangis, merindukan sahabatnya yang selalu ceria menungganginya, apa daya Kelly sekarang sudah berkuliah di Australia.
Aku mengatakan padanya, 10 tahun hanyalah awal dari kenestapaanmu, hingga engkau merasakan apalah artinya waktu bagi kaummu. Rodamu yang hilang hanyalah mula dari penyiksaanmu, hingga engkau merasakan kulitmu yang terkelupas.
Ia menangis keras tersedu, sepeda kelabu yang cengeng merindukan mengejar keong di pagi yang berembun. Aku tak mampu lagi bersikeras, sesaat merindukan ayuhan si Engkong yang telah meninggal akibat sakit jantung. Â Â Â
*
Pagi ini si Rudy menatapku dengan mata berbinar, seolah-olah baru saja memenangkan uang bermiliar-miliar. Aku menatapnya liar dengan lampu kecilku yang tidak lagi bersinar. Mengingatkanku pada si Engkong yang selalu mengelusku sebelum menyusuri trotoar.
"Go-wes" istilah yang tidak aku pahami ketika mendengarkannya bersuara di telpon genggam.
"Males" aku menjawab sendiri ketika membiarkannya membawa tubuhku yang penuh ruam.
"Bisa jadikan sepeda onthel" ujar si gendut yang berbau pesing.Â
"Sekalian aja jadi ondel-ondel" ujarku dalam hening.
"Woi! si Engkong memberikanku julukan 'Kumbang', tolol! Bukan Onthel!." Tak bergeming, si beruang dodol ini mulai mempreteliku sambil mengomel. Â Â
*
"Aku ingat jalan ini", menyusurinya sambil menggandeng beras bergoni-goni. Mengunjungi kios pak haji yang rajin mengaji, wajah si Engkong selalu berseri-seri.
"Aku kenal kota ini," meskipun warung mas Pardi kini telah berubah menjadi Ayam Kentakki. Banyak perubahan, termasuk diriku yang kini bergaul dengan sepeda baru songong yang selalu hadir berbondong-bondong.
Seli yang bisa dilipat konon selalu dibawa oleh Melli pemiliknya yang suka pergi-pergi. Tuasnya yang berwarna emas akan terus kelihatan cantik, hingga dirinya membekas menjadi barang antik.
Ia lupa jika aku tidak perlu cantik untuk ditunggangi, cukup dengan semangat pagi yang berseri.
Flexi yang lentur bagaikan abege selalu dibawa masuk pemiliknya ke dalam kafe. GPS yang terpasang di atas kepalanya tidak layak untuk dipamerkan.
Kumbang tua macam diriku sudah malang melintang dan selalu siap dalam setiap adegan.
MTB yang malu-maluin karena tidak mengakui nama asli Indonesianya. Sepeda Gunung, apa sih susahnya.
Oh ya... Jelas aja susah, wong di gunung kan tempat lahirnya lutung kasarung.
Hybrid yang konon lahir dari perpaduan hutan dan kota, bangga dengan statusnya yang lahir dari hasil riset.
Ia tidak tahu kalau sepeda tua macam diriku sudah menjadi pilihan sebelum zaman buntet.
"Mana Specil" ia sempat menghinaku! Rombongannya yang berisik selalu mengusik tenangnya minggu pagi. Tiang listrik yang senang melihatku mengatakan bahwa ia tak lagi diminati.
"Semuanya cicilan Mbang! hampir tidak ada sepeda yang tidak dicicil!" Ternyata mahluk-mahluk songong yang suka mengeong ini belum juga sadar akan susahnya cari duit kecil!
*
"Katanya sih, Gowes itu bikin tubuh sehat." Aku bingung, bukannya bersepeda itu jauh lebih sehat? Udara yang bersih di jamanku sudah tidak ada lagi!
"Katanya pergi ke kantor naik sepeda biar keren." Eh si Engkong kagak perlu kantor untuk jadi beken. Di jamanku, belanda doang yang naik motor, karena takut kotor!
"Ngapain sebut-sebut selfie?", tau gak sih si Engkong yang gagah, selalu jadi rebutan para bidadari!
"Katanya sih sepeda bikin naik gengsi, mengurangi emisi sambil menghirup udara bergizi." Bukannya sekarang jaman pandemi? Mending aja belum mati akibat nyocol sana-sini.
"Eh, merek sepeda kagak penting tahu", berjubel bagai bahasa kolonial yang suka ngomel, aku hanya sepeda kumbang yang tidak suka membual.
"Katanya disayang sama bossmu, sontoloyo!"Â Kamu itu pengantin baru yang terjebak nafsu syahwat di tengah musim sendu.
Kalau bukan si Rudy bangsat ini yang menempatkanku, aku tidak pantas berada di tengah mobil dan motor yang menderu. Meskipun aku sudah terlalu usang untuk dijadikan kendaraan, namun kelapukanku tidak bisa menghapusku sebagai saksi sejarah.
*
Rasanya si Engkong akan setuju kalau aku itu adalah warisan penting yang selalu berada di saat genting. Saat sekarang pun ruh si Engkong sedang berada di pundakku menapaki perubahan dengan suasana hati yang senang.
Sebuah warisan layaknya dijaga dalam nurani yang terdalam, bukan hanya untuk dimanfaatkan pada saat lagi memiliki peluang.
Demikian pula pada saat Indonesia Raya berkumandang. Tahun 1945 aku mendampingi si Engkong yang menangis terharu, atas sebuah pengakuan yang tak pernah ia impikan terhadap negeri ini.
Kata si Engkong, "sepeda kumbang macam diriku saja pantas dijaga, apalagi Sang Merah Putih yang perkasa."Â Sepedaku adalah kendaraanku, namun negeri ini adalah tumpah darahku.
Waktu berlalu dan gowes sudah tak lagi terasa gres, aku kembali dengan tampilan baruku ke samping sepeda kelabu yang masih saja syahdu. Menunggu hingga datangnya waktu yang entah kapan berlalu.
Semoga perasaan ini tidak akan berlalu, agar asa si Engkong selalu terasa perlu. Bersepeda bukanlah ajang untuk pamer, karena jika tiba saatnya, maka semuanya akan terasa ceter.
Diilhami dari tulisan Kompasianer Dizzman, "Kala Hiperealitas Pindah ke Sepeda"
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H