Tidak semua orang dapat membuat karya literasi, apalagi melakukannya dengan baik. Namun apapun itu, karya literasi bagaikan khayalan tingkat tinggi kaum rebahan yang sedang berfantasi.
Ide berseliweran di siang bolong yang panas, dituangkan hangat kedalam hape yang belum lunas. Â
Jari-jemari liar yang biasa digunakan untuk cebok, kini mulai menulis puisi "Duka-Duki Anak Kos di tengah Pandemi."
Belum lagi selesai bersetubuh dengan layar sentuh yang mulai penuh, telepon tagihan kartu kredit datang mengintai, membuat sang pujangga alit kehilangan nyali.
Butuh 5 menit untuk membangkitkan tenaga yang sudah terkuras, sebelum melanjutkan imajinasi liar yang masih setengah tanggung menggantung di atas ubun-ubun.
Butuh 5 detik, agar layar kembali terpapar, Arggghhh... si Atong teman kos seberang kamar, sudah duluan posting di medsosnya, jadi viral dan dapat label "kesayangan" dari Widha, sang bunga kampus.
Begitu pula diriku yang masih tergolong baru di dalam grup "beyond blogging" yang sudah kedengaran "beyond hari"Â sebelum bapakku mulai suka bengong.
Mulai mencoba peruntunganku sebagai blogger dan masa 7 bulan adalah waktu yang singkat bagi penulis dadakan seperti diriku, untuk memahami bagaimana "Duka-Duki Anak Blogger di tengah Otak yang Lagi Disfungsi."
Bukan munafik, label AP, AU, Terpopuler, Tertinggi, adalah kepuasan yang harus digapai, yang membuat diri akhirnya terjerembab ke dalam lembah ketidakpastian ini.
Ketidakpastian yang terombang-ambing di antara viewers dan lirikan mata Mimin yang terkenal angker. Oh... Mata terkuras, pikiran membuas, dan perut terasa mulas. Ombak di Kompasiana serasa lebih anarki dari boneka Kekeyi.
K-Rewards yang jumlahnya cukup nyaring, sedikit banyak dapat menjadi taji untuk bersaing dengan istri yang lagi aktif belajar baking.
Memuji diri sendiri atas sematan centang biru dalam waktu 5 bulan, "tulisan centang hijau kok lebih banyak AU nya ya?"
Mencoba menikmati lagu sendu, suara merdu Mba Widha terasa lebih syahdu. Mencoba menikmati film aksi, wajah Mba Widha selalu jadi ilusi. Semoga suatu saat nanti hasil literasi dapat menjadi bahan diskusi di ruang kurasi.
Namun sayang sungguh sayang...
Aku menyesali mengapa diriku baru bertemu dengan Pak Tjip yang bijaksana, Mas Nawir yang bersahaja, Mba Gana yang baik, Kak Hennie yang menarik, Mbah Ukik yang penuh misteri, Bro Ketra yang berani, Romo Bobby yang kritis, Mas Suzy yang pedis, Mas Ozy yang edukatif, Mba Lusi yang inspiratif dan semua sahabat Kompasianer yang tidak dapat kusebutkan namanya satu-persatu di sini. (mohon maaf).
Semua sahabat memberikan warna baru dalam kehidupan, meskipun tatapan muka adalah hal yang saru. Sesuatu yang baru akan selalu terasa pilu tanpa adanya tangan yang tersentuh.
"Oeiiii... sepi pembaca..." ya kesal lah, wong tulisan udah dibuat 3 hari 3 malam, tapi kunjungan hanya kepala 3.
"Oeiiii... tulisanku dihapus..." ya jengkel lah, wong artikel ini ekspresi diriku yang lagi berapi-api.
"Oeiii... jangan harap jadi AU kalau kagak beruntung."Â Ya iya lah, kapan lagi jadi kampiun diantara ribuan artikel.
Tapi heran aku, mengapa menulis itu bikin ketagihan ya? Padahal jika ditilik, literasi sachetan tidak mengandung kafein, apalagi nikotin.
Penikmat sachetan alias penulis amatiran seperti diriku, selalu merasa bahwa karya-karyaku harus teratas, padahal di luar sana ada ribuan produsen kalengan dan toplesan yang bukan hanya diriku seorang.
Ah.... Jalan tengah harus dilalui, kata emak sih, "tak kenal maka tak hafal." Jika kita sedang menjalani lembah ketidakpastian, mengenal baik sahabat seperbuangan adalah suatu hal yang esensial.
Bertegur sapa diantara sahabat adalah hal yang wajib, bukankah manusia Indonesia adalah manusia yang karib?
Disapa, ya balas sapa, ditegur, ya balas tegur, lapak lagi sepi, saatnya bertoa-toa, lapak kembali ramai, teruslah berdoa.
Kompasiana bukan milik siapa-siapa, bagaikan ruang ibadah tempat umat berjemaah. Namun doa tidak perlu digembar-gemborkan. Tuhan maha adil, tahu segalanya, sepanjang aturan kemanusiaan tetap dijalankan.
Bukannya plagiat sama derajatnya dengan selingkuh? Tidakkah menyinggung SARA udah bukan jamannya lagi? Untuk apa beriklan jika akan berakhir cibiran?
Kompasianer adalah siapa-siapa, bagaikan koki yang mampu meracik bawang menjadi bakwan. Namun makanan yang enak tidak bisa dibohongi. Pencinta kuliner akan selalu menempatkannya di hati hingga tinggi terangan mimpi.
Mengintip resep masakan sesama koki baik adanya, memberikan pujian tulus penting terasa, belajar memahami micin enak rasanya. Tidak usah khwatir, para koki senang berbagi selama kuota selalu terpenuhi.
Kompasiana bagaikan dunia paralel yang berisikan mahluk penggemar label, namun apa daya, susah bersaing diantara karya literasi yang berjubel.
Kompasiana bagaikan dunia mistis yang berisikan mahluk monoteis, politeis, bahkan kadang ateis, namun buah pikirannya selalu pancasilais.
Kompasiana bagaikan dunia lain yang berisikan labirin yang memerangkap warganya untuk selalu memuat karya literasi dari pahing hingga kliwon.
Tidak usah berkecil hati, pada akhirnya kaum rebahan akan jadi panutan di tengah ganasnya virus penjangkit badan.
Sekali menjadi Kompasianer, akan selalu menjadi Kompasianer. Waktu akan menentukan sejauh mana dirimu terus berkarya, meskipun jejak literasi tidak akan lekang oleh waktu.
Semoga persahabatan di Kompasiana ini akan terus berlanjut hingga asa terkekang kalut. Semoga karya literasi para sahabat akan terus meraut, hingga ajal menyambut maut. Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H