"Maa.. maksud saya, Cainis kho," Ungkap Lina, karyawanku yang telah mengabdi selama 20 tahun. Sikapnya yang canggung, mengungkapkan rasa bersalahnya karena awalnya telah menggunakan kata Cina yang merujuk kepada seorang pelanggan toko.
Aku yang sempat terdiam beberapa saat, kemudian menanggapi "Ya sama aja tooo, Cainis dan Cina, apa bedanya?" Lina kemudian tersipu malu menyadari bahwa ia belum terbiasa menggunakan kata Cainis setelah sekian lama Keputusan Presiden Nomer 12 Tahun 2014, tentang pergantian istilah "China/Cina/Tjina" dengan "Tionghoa," didengungkan.
Dalam Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014, presiden SBY menilai pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, atau komunitas tertentu pada dasarnya melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia, yang juga tertuang dalam UUD 1945.
Sejarah mencatat, kebencian terhadap warga Tionghoa ini sengaja diciptakan sebagai konstruksi sosial oleh penguasa masa silam, baik dari pihak Belanda, maupun Raja-raja yang berkuasa.
Mulai dari peristiwa geger pecinan yang terjadi pada tahun 1740 hingga dengan kerusuhan Mei 1998. Pun pada saat Perang Jawa Meletus (1825-1830), masyarakat Jawa pada saat itu sangat membenci orang Tionghoa karena menjadi bandar pemungut pajak bagi Raja Jawa, maupun oleh kaum kolonial.
Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun juga turut menyuburkan tindakan diskriminatif terhadap suku Tionghoa. Kewajiban untuk mengubah nama "Tiga Huruf" menjadi nama yang "kejowo-jowoan", menutup sekolah, menghapus segala bentuk literasi mandarin, tindakan segregasi, hingga penciptaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi," menjadi momok tersendiri.
Memang kata Cina sangat berdampak terhadap psikososial diskriminatif dalam hubungan sosial warga Indonesia dari keturunan Tionghoa, khususnya bagi mereka yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif secara langsung. Hingga saat ini, masih banyak kawan-kawan yang kurang sreg dengan panggilan Cina.
Namun nalar kembali tergelitik, apakah semua ungkapan kata Cina benar-benar mengandung ujaran kebencian? Dalam kasus Lina, jelas ia bukanlah seseorang yang bermaksud menghina orang Cina, karena kakeknya sendiri bermarga Liem dan menikah dengan seorang wanita dari suku Bugis.
Sementara percakapan dengan Mas Ade, langgananku yang jago berdagang di kampungnya telah memberikan arti kata Cina dengan sangat berbeda. Ia mengungkapkan dengan bangga bahwa kawan-kawannya memberikan pujian kepadanya dengan sebuah frasa, "Jelas kamu lebih Cina dari orang Cina."
Di kalanganku sendiri, kata Cina kadang juga masih santer terdengar. Entah karena kebiasaan, atau digunakan dengan sengaja untuk meledek sahabat yang sangat perhitungan, dengan ungkapan, "Dasar Loe Cina" (sambil terbahak-bahak).
Dengan demikian, apakah pemanggilan kata Cina kepada etnis Tionghoa, bisa langsung dicap sebagai sebuah penghinaan? Mungkin sebagian orang mengatakan iya, namun bagi aku sendiri, sebenarnya sangat bergantung kepada niatannya.