Legenda tentang manusia Indonesia kebal Covid-19 masih terngiang sampai sekarang. Menjadi alasan yang paling masuk akal untuk mendukung sikap MenKes Terawan yang tidak terlalu khwatir pada saat Corona belum menjadi pandemi, membuat diri masih belum mampu menerima nasib.
Paling tidak ada dua teori konspirasi yang mendukung hal ini, yaitu 1) alam tropis Indonesia bukan tempat bagi virus SARS-CoV-2 untuk tumbuh dan berkembang, dan 2) Manusia Indonesia yang sudah "berdamai" dengan berbagai jenis virus macam-macam, sudah memiliki antibodi alami terhadap jenis virus baru ini.
Nah, ditengah-tengah serangan pandemi yang menimbulkan rasa frustasi, teori konspirasi seperti ini mungkin bisa kembali dilirik, mengingat bahwa Indonesia sudah memasuki masa musim panas.
Setidaknya kejadian SARS-CoV-1Â yang membuat panik negara China dan Hong Kong tidak sempat menyebrangi bumi pertiwi, konon karena cuaca panas Indonesia. Belum lagi epidemi ini tiba-tiba melenyap, pada saat kedua negara tersebut memasuki musim panas.
Meskipun berasal dari jenis virus yang sama, namun ada perbedaan diantara virus SARS dan Corona, dimana disebutkan bahwa tingkat kematian SARS lebih tinggi, namun daya penularannya tidak sehebat Corona. Sebaliknya Corona yang menyebar cepat tidak seganas SARS.
Bincang-bincang singkat dengan dr. Arief Limardjo, khusus membahas mengenai hal ini. Menurutnya ada sebuah teori dalam dunia medis yang menyebutkan mengenai pola Vilurensi virus.
Belajar dar kasus Rhinovirus dan Influenza, pada saat virus sudah susah menyebar, maka ia akan bermutasi dengan mengurangi "daya bunuh" nya, agar bisa tetap hidup.
Jika hal ini terjadi, maka kemungkinan untuk mendapatkan vaksinasi alami dari virus yang sudah melemah menjadi lebih besar. Disinilah saatnya memproduksi antibodi yang efektif melawan penyebaran virus ini.
Kabar baik berlanjut dengan berita terbaru yang dilansir oleh Kompas.com, mengenai keterlibatan dari perusahaan lokal, Kalbe Farma yang bekerja sama dengan perusahaan Bio-Teknologi asal Korea Selatan, Genexine dengan nama GX-19 yang mencakup pengembangan vaksin DNA terhadap virus
Menurut dr. Arief, hal ini tentunya lebih baik, karena pengembangan bahan baku teknologi ini dibuat lebih spesifik bagi struktur biologis masyarakat Indonesia berdasarkan strain dari virus di Indonesia, yang mungkin saja sedikit berbeda karena mutasi.
Kabar baik selanjutnya, Moderna, sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Amerika Serikat telah mengumumkan keberhasilan tahap 1 dalam melakukan uji coba klinis terhadap vaksin yang dapat memproduksi antibodi terhadap sejumlah responden manusia.
"Dengan hasil positif fase 1 dan juga eksperimen menggunakan tikus, tim Moderna segera melanjutkan tahap berikutnya secepat mungkin untuk memulai tahap ke 3 di bulan Juli."
"Jika berhasil, maka kita akan melakukan investasi yang besar-besaran untuk memproduksi vaksin yang dapat melindungi sebanyak mungkin manusia dari SARS-CoV-2"Â Ungkap Stephane Bancel, CEO Moderna. Â
Lebih lanjut menurut dr. Arief, "berdasarkan penelitian ini, bisa dibuatkan 'Target Therapy' yang bisa langsung bekerja di jalur S-309"Â atau dengan kata lain, peneliti dapat menggunakan kasus antibodi yang telah terbentuk dari SARS-CoV-1 sebagai penutup pintu masuk bagi SARS-CoV-2.
Jalur yang disebut dengan antobodi S-309 telah ditemukan terbentuk secara alami dari tubuh para pasien penyintas penyakit SARS, meskipun penelitian ini masih memerlukan beberapa tahap lanjutan, mengingat sistem mutasi virus Covid-19 termasuk sangat cepat.
Namun paling tidak sudah ada dua perusahaan farmasi besar yang telah bekerja mengembangkan penelitian terhadap sistem 'Target Therapy' ini, yaitu VIR Technology dan GSK (Glaxo Smith-Kline)
Ide yang menjadi dasar 'Target Theraphy'Â yang menggunakan prinsip mengembangkan antibodi spesifik pada penyakit spesifik sebenarnya telah muncul pada tahun 1908, Ketika Paul Erlich, seorang dokter berkebangsaan Jerman mengembangkan ide "One Drug, One Disease".
Namun pada saat itu, ide tersebut terkesan mengada-ada, hingga penelitian mengenai kloning antobodi mulai dikembangkan pada tahun 1970an, dan baru pada tahun 1980an, dunia medis dapat melakukan uji coba pada manusia.
Salah satu riwayat tersukses dalam penemuan ini disebutkan pada film "Living Proof" yang menceritakan mengenai 'Target Therapy'Â pertama terhadap penderita kanker payudara dengan tipe reseptor HER2.
Kanker Payudara HER2 positif adalah kanker payudara yang berasal dari bermutasinya protein "Human Epidermal Growth Factor Receptor-2." Reseptor ini sebenarnya membantu manusia dalam mengontrol pertumbuhan dan perbaikan sel-sel payudara.
Namun jika kelebihan, justru bisa menyebabkan reproduksi sel payudara yang tidak terkontrol, sehingga menyebabkan kanker payudara.
Setelah keberhasilan 'Target Therapy"Â terhadap penderita Kanker Payudara HER2, maka hingga saat ini sudah banyak penemuan "Monoclonal Antibodi," yang diciptakan untuk beberapa penyakit mutasi spesifik.
Namun tantangan terhadap hal ini adalah harga, karena riset terhadap sistem ini sangatlah mahal. Itulah mengapa penyakit kanker membutuhkan biaya pengobatan yang sangat tinggi.
Tentunya menarik mengetahui, jika vaksin dan obat corona ditemukan dengan pola 'Target Therapy'Â apakah harganya akan menjadi semahal pengobatan kanker" Wallahu a'lam.
Atau jangan jangan kita memang tidak membutuhkannya, karena pada akhirnya manusia Indonesia memang sudah kebal Covid sebelum vaksin dan obat ditemukan.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H