Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengenal "CIPA", Penyakit yang Tidak Mengenal Rasa Sakit

28 Mei 2020   15:28 Diperbarui: 28 Mei 2020   15:25 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: spinuniverse.com

Rasa sakit adalah hal yang paling dihindari, terasa sangat menjengkelkan, namun sebenarnya adalah respons alami tubuh sebagai sinyal, bahwa ada sesuatu yang salah.

Namun jika menjadi berkepanjangan, maka rasa sakit bisa menjadi malapetaka. Jika terjadi, maka manusia akan selalu berharap agar dirinya tidak pernah mengenal rasa sakit.

Persepsi rasa sakit bagi setiap manusia ternyata berbeda-beda. Menurut Erin Young dari University of Connecticut School of Nursing, rasa sangat berhubungan dengan gen yang menyusun kode DNA manusia.

Sebagian besar dari jutaan variasi kecil gen ini diketahui adalah penyebab rasa sakit. Variasi gen ini juga dikenal sebagai 'Polimorfisme Nukleotida Tunggal (Single Nucleotide Polymorphism) atau disingkat SNIP.

SNIP yang berbeda dari setiap manusia inilah yang membedakan kemampuan manusia dalam menerima rasa sakit.

"Ada sekitar 10 juta SNP yang diketahui berada dalam genom manusia --kombinasi dari SNP tersebutlah yang membuat kode DNA, membedakan tiap individu di dunia dan rasa sakit yang dirasakannya," papar Erin.

Namun, tahukah anda jika ada golongan kecil manusia yang tidak pernah merasakan rasa sakit? Dalam istilah kedokteran, kemampuan ini disebut sebagai Congenital Analgesia atau Congenital Insensitivity to Pain (disingkat CIPA).

Dan ini bukanlah berkah, seperti pada kisah nyata berikut ini.

Pada tahun 1932, seorang dokter menemukan seorang pria yang bernama Edward Gibson yang mengaku tidak pernah mengenal rasa sakit. Pria tersebut justru hidup mencari nafkah pada festival Vaudeville (semacam pasar rakyat), di Amerika Serikat, dengan membiarkan orang menyakitinya, seperti menerima pukulan di wajah, membakar kulitnya, hingga memalu paku di tangannya.

Selain itu, pada tahun 1949, seorang gadis muncul di Poole General Hospital, rumah sakit umum bagi penderita penyakit akut, di Dorset, Inggris. Gadis tersebut kelihatan sangat parah dengan bekas-bekas luka pada badannya, dan lutut, paha, dan pergelangan tangan yang bengkak.

Namun anehnya, sang gadis kecil tersebut mengatakan bahwa ia "baik-baik saja." Penyidikan lebih lanjut oleh tim dokter mengatakan bahwa ia tak pernah mengenal rasa sakit, meskipun berulang kali jatuh tertelungkup di atas beton jalan saat bermain dengan anak-anak lain.

Gadis itu bahkan tidak pernah mengalami sakit gigi, kepala, atau sakit perut. Alasan kemunculannya di rumah sakit, karena ia tidak bisa lagi melompat-lompat seperti biasa. Ternyata yang dialami olehnya adalah patah tulang yang sudah menahun di dekat pinggulnya.  

Laporan dari US National Library of Medicine menjelaskan bahwa CIPA disebabkan oleh faktor genetik, dan pada umumnya, mereka telah menjadi penderita sejak lahir.  

Para ahli medis juga mengatakan bahwa penderita CIPA juga tidak memiliki atau kehilangan indra penciuman (atau yang dikenal dengan sindrom Anosmia) dan juga kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan keringat.

Hal ini kemudian membuat mereka sering melakukan sesuatu yang berbahaya tanpa mereka sadari, seperti berulang kali menggigit diri sehingga tidak sadar kalau sedang berdarah, atau meminum air mendidih, sehingga mulut melepuh.

Selain itu, cedera pada kulit, tulang, atau organ dalam tubuh, sering terlambat diketahui sehingga pemulihannya menjadi lebih lama dan sulit, bahkan kadang baru diketahui jika sudah menjadi parah dan tak bisa lagi tertangani.

Andhidrosis atau ketidakmampuan mengeluarkan keringat juga menjadi masalah bagi penderita CIPA. Kondisi ini dapat menyebabkan penderita mengalami resiko peningkatan suhu tubuh (hiperpireksia). Oleh sebab itu, anak-anak penderita CIPA pada umumnya tidak dapat melewati usia 3 tahun, akibat kondisi demam yang tinggi.

Dalam beberapa kasus CIPA, meskipun tidak banyak, juga ditemukan penderita CIPA mengalami masalah kesulitan mengatur BAB dan BAK, kerusakan pada struktur gigi (karies), dan gangguan kecerdasan.

CIPA bisa terjadi karena adanya mutasi gen NTRK1 yang mencegah pembentukan sel-sel saraf yang mengatur sinyal rasa sakit pada SNIP. Sayangnya penyakit ini tidak bisa disembuhkan, dan penderitanya harus bertahan hidup dengan cara belajar untuk mencegah cedera dan melakukan konsultasi rutin ke dokter.    

Kondisi penyakit ini termasuk langka, namun bagi orangtua yang mungkin khwatir akan kondisi anaknya terkait simtom CIPA ini, maka tes kromosom pada laboratorium dapat dilakukan.

Pastikan juga untuk selalu berkonsultasi dengan dokter mengenai strategi adaptif dalam penanganan anak yang terkena kondisi ini, seperti mengajarkan mereka untuk menghindari luka, mengidentifikasi rasa sakit dari bentuknya, serta beberapa larangan untuk bermain dengan benda berbahaya.

Intinya, anak-anak penderita CIPA harus terus berada dalam pengawasan yang ketat, karena mereka adalah penderita penyakit yang tidak mengenal rasa sakit.  

Sumber: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun