Tahun 90an adalah masa keemasan bagi penulis. Mendapatkan gelar S1, mengharapkan kerja pada perusahaan besar, dan mengidolakan para eksekutif muda pada zamannya.
Otak yang idealis, penuh semangat dan cita-cita yang tinggi, tentu harus dibarengi dengan gaya juga dong. Betul kan?
Apalagi kata orang, kalau mau menjadi seseorang, maka bergayalah seperti mereka. Minimal penampilan, cara berpakaian, dan memiliki apa yang telah mereka miliki.
Nah di zaman keemasan itu, penulis pernah membaca sebuah artikel dari sebuah majalah terkenal. Isinya mengenai 7 barang yang harus dimiliki oleh para eksekutif muda. Apa saja ya? Mari kita simak bersama.
Pulpen
Pada zaman keemasan, pulpen ini wajib hukumnya. Tidak ada alat pencatat informasi yang dapat menggantikannya. Nah, pulpen pun juga ternyata melambangkan status sosial.Â
Jelas merek terkenal seperti Parker, Waterman, atau Mont Blanc berbeda dengan merek dari toko kelontong. selain kualitas dan harga, strata sosial pemiliknya adalah hal yang membedakan.
Jangan salah paham, ini bukan note book atau istilah keren untuk laptop zaman dulu. Tapi ini adalah buku notes sungguhan. Daripada catat-catat di telapak tangan, maka buku notes mini, sangat-sangat diperlukan agar kelihatan elegan.
Buku Alamat
Nah, barang yang satu ini juga sangat disarankan. Terorganisir merupakan aturan yang paling penting dalam kesuksesan. Nomer telpon adalah angka yang selalu diperlukan untuk membina hubungan. Jangan sampai ketinggalan informasi, hanya karena kelupaan nomer telpon.
Arloji
Sebagai eksekutif muda, tepat waktu adalah cerminan kepercayaan. Menggunakan arloji juga dapat menambah gaya. Banyak pilihan yang bisa didapat, mulai dari model klasik dari merek terkenal hingga ke arloji digital yang juga bisa berfungsi sebagai alarm.
Sebagai seseorang yang sibuk dengan jadwal yang penuh, maka buku agenda dapat mengingatkan jadwal kosong yang belum terisi. Jangan sampai ada dua appointment yang berbentrokan, hanya karena lupa. Selain itu, buku agenda juga bagus sebagai pengingat ulang tahun tersayang.
Kalkulator Saku.
Bukan eksekutif namanya, jika tidak berhitung, Kalkulator saku adalah solusi bagi mereka yang merasa uang penting adanya. Kelihatan keren, kalkulator saku juga dapat dijadikan sebagai alat menyimpan kartu nama. Hihihihi.
Manusia zaman kolonial, pasti memilikinya. Dengan bentuk persegi dan nyaman dalam genggaman, sarung yang diselip pada ikat pinggang, menandakan betapa pentingnya sang pemilik. Pager dapat berfungsi untuk menerima pesan sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Nah kalau tidak penting, untuk apa dicari kan?
Namun tetap saja, zaman keemasan bagi penulis adalah zaman keemasan. Lulusan sarjana pada waktu itu tentu berbeda dengan sekarang.
Pada zaman keemasan, keahlian bersosialisasi, gaya berkomunikasi, sopan santun, dan wawasan luas menjadi penentu tingkat kesuksesan seseorang. Namun coba lihat di zaman sekarang.
Seorang manusia bisa saja memiliki jutaan teman di seluruh dunia, namun hanya terbatas pada followers medsos saja. Jari memegang peranan yang jauh lebih penting daripada mulut sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Kesantunan hanya cukup pada tulisan saja, toh tidak ada yang memedulikan bahasa tubuh jika sedang nge-chat kan?
Pada zaman keemasan, berbicara dengan penuh perhatian adalah kekuatan yang dahsyat, coba lihatlah sekarang, anda akan dihadapkan untuk berbicara dengan manusia yang matanya tidak pernah terlepas dari gawainya.
Pada zaman keemasan, luasan pertemanan menentukan tingkat pengetahuan, coba lihat sekarang, duduk bengong sudah dapat menyerap informasi sakti mandraguna, namun pertanyaanya, apakah informasi itu benar?
Penulis masih mengingat, bagaimana perjalanan bisnis pertama dilakukan. Tiba di Bandara Hasanuddin, hal pertama yang dicari adalah majalah bulanan terbitan terbaru. Duduk dua jam di dalam pesawat, melahap berita yang sudah pasti valid.
Tiba di bandara Soekarno-Hatta jadul, hal pertama yang dicari adalah telpon koin. Menelpon istri di rumah, menandakan semuanya sehat-sehat saja.
Sesampainya di kantor dan berdiskusi dengan relasi, banyak hal tergali dengan sempurna. Tidak ada izin untuk menerima telpon yang tiba-tiba bedering. Konsentrasi tidak terganggu dengan notifikasi pada aplikasi medsos yang belum terbaca.
Pertemuan selesai jam 4 sore, balik ke hotel, cek in, dan tidak lupa menitip nomer telpon hotel ke rumah melalui resepsionis. Makan malam bersama kawan dan bercanda sampai pagi, tanpa perlu mengecek pesan pada whatsapp, "kamu lagi ngapain?" Masyallah, indahnya...
Oh ya, penulis masih menyimpan pager pertama yang dibeli dengan harga Rp.150.000,- Apakah kompasianer masih memiliki salah satu dari ke-7 perlengkapan perang di zaman keemasan? Atau mungkin ingin menambahkan perlengkapan penting yang mungkin terlupakan? Silahkan tambahkan pada kolom komentar.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H