Jika saja dr. Tjipto Mangunkusumo masih hidup atau sedang bereinkarnasi di jaman Corona, entah apa yang ada dalam pikirannya. Sebagai bumiputera yang bergelar dokter, tentulah bukan hal yang mudah pada jamannya. Namun sebagai dokter yang membumi, apakah akan terasa mudah pada jaman ini?
Sebagai pejuang nasional, dr. Tjipto Mangunkusumo bukanlah orang yang disenangi oleh kaum Belanda. Menolak pekerjaan dalam jawatan Belanda, dan memilih untuk masuk ke sekolah kedokteran STOVIA. Tujuannya hanya satu, agar ilmunya dapat digunakan bagi rakyatnya sendiri.
Mendapat perlakuan diskriminatif di STOVIA, dr. Tjipto Mangunkusumo semakin mendapatkan kebebasan berpikir dan berkespresi. Setelah lulus kuliah, sang dokter kemudian menjalani masa dinas pemerintah. Karya tulisannya yang dibuat untuk koran lokal di Semarang, membuat dirinya dibenci oleh Belanda.
Hingga tahun 1910, ketika wabah pes merebak di Malang. Penyakit yang cepat menular dan sulit disembuhkan karena keterbatasan sarana medis ini kemudian menggoyah hati sang pejuang. dr. Tjipto Mangunkusumo menjadi pendaftar pertama sebagai dokter dinas pemerintah.
Saat itu, situasi memang sulit, tidak banyak dokter bumiputera, namun dokter Belanda juga tidak berani mengambil resiko turun ke kampung-kampung untuk mengobati penderita yang pada umumnya adalah kaum bumiputera.
Jangankan pada saat wabah pes merebak, dalam keseharian mereka saja, bersentuhan dengan kaum bumiputera pun ogah. Namun keberadaan kaum bumiputera di tanah jajahan juga memiliki peranan penting bagi pemerintahan kolonial.
Masa itu dikenang sebagai masa yang penuh rasisme. Yang kulit putih sangat ditopang oleh kehidupan nyaman dari eksploitasi manusia. Yang berkulit coklat dibutuhkan sebagai babu dan kuli, sementara yang berkulit putih bening dijadikan gundik.
Itulah sebabnya jika maut hitam dibiarkan terus berlangsung, maka buruh-buruh kasar perkebunan, pertambangan mineral dan infrastruktur jalan yang membawa arus duit kolonial akan terancam nyata.
Kepedulian dr.Tjipto Mangunkusumo beserta kawan dokter bumiputera lainnya, yaitu dr. Soetomo membawa manfaat yang sama, baik bagi kaum bumiputera maupun kolonial. Namun bagi beliau kemanusiaan bagi bangsanya adalah diatas segalanya, adapun kebaikan yang nanti akan didapatkan oleh kaum kolonial, tidak menjadi kepeduliannya.
Hal ini terungkap dalam pidato pada masa pengasingannya di Den Haag, Belanda tahun 1914. "... adalah tidak bertanggungjawab membiarkan beribu-ribu orang jatuh jadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya menjadi bosan sendiri minta korban orang Jawa. Tidak. Kita tidak boleh lengah!"
"Selama Malang masih merupakan pusat wabah pes, ujarnya, selama itu pula Hindia Belanda dalam 'ancaman bahaya' besar." Â