Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepatu Butut Kebanggaan di Atas Kepala Patung Sang Buddha

19 April 2020   07:12 Diperbarui: 19 April 2020   07:15 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto YM. Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera. Sumber: gramho.com

1) Ketidaktahuan dan akhirnya menggeneralisasikannya dengan hal yang lain. 2) Berita bohong atau yang tidak benar 3) Mitos yang melekat akibat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan 4) Melihat sesuatu berdasarkan perasaan nyaman atau tidak nyaman.

Keempat hal tersebut diatas disebut dengan pikiran yang terdistorsi, sehingga output yang dikeluarkan dalam bentuk sikap, cara pandang, keputusan, dan ribuan jenis produk pikiran lainnya menjadi tidak sepenuhnya benar.  

Hal ini disebut dengan STIGMA, atau menilai segala sesuatu yang berasal dari pikiran yang terdistorsi.

Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kita merasa jijik melihat kecoak, padahal kecoak tidak melakukan apa-apa. Kita merasa mual melihat sampah yang berserakan, padahal sampah memang ada dimana-mana, kita takut melihat mayat, padahal suatu saat kita akan menjadi mayat juga.

Saat ini Indonesia dan dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19. Terlepas dari bahaya penularan, menyebabkan sakit, dan juga merenggut nyawa, ancaman yang lebih berbahaya adalah stigma yang datang menghampiri.

Penolakan warga terhadap pemakaman jenasah pasien Covid-19 di Banyumas disebabkan oleh stigma. Penolakan tenaga medis oleh para tetangga di Jakarta Timur, disebabkan oleh stigma. 

Pengusiran satu keluarga hingga mengungsi ke hutan di Minahasa Utara disebabkan oleh stigma, dan tindakan diskriminasi bagi para PDP dan ODP di berbagai daerah di Indonesia juga disebabkan oleh stigma.

Dampak yang lebih buruk dari penumbuhan stigma ini, adalah masyarakat yang tidak mau terhakimi akhirnya menyembunyikan diri. Dengan demikian bahaya penyebaran akan menjadi sangat laten. Akan semakin banyak silent carrier yang kemudian berubah menjadi silent killer (baca artikel penulis lainnya).

Dan stigma ini tidak saja terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia! Betapa menakutkan menerima kenyataan bahwa stigma yang terjadi dapat merubah tatanan hidup dalam sekejap.

WHO menyadari bahaya ini dan telah memberikan beberapa saran untuk meredam tumbuh suburnya stigma di tengah masyarakat.

Bersikap empati kepada mereka yang terkena dampak, dengan tidak menyebutkan penderita sebagai kasus covid-19 atau korban, namun menggunakan istilah "orang yang sedang dirawat".

Menghindari berita yang belum tentu benar dan mencari fakta bukan rumor.

Bagi petugas medis yang bertugas atau mereka yang sedang berada dalam karantina, tetap melakukan kontak dengan keluarga dan para sahabat dan menjelaskan mengenai kondisi yang sedang mereka alami melalui telpon atau media sosial.

Menyebarkan berita positif terkait perkembangan pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun