Seorang kawan berkomentar di grup whatssapp, "Makanya, saya mimpi ki Dewa Kong-Co kemarin malam. Mukanya marah, terlalu banyak orang balala (rakus). Mungkin mau mi kiamat ini." Menambah polemik-polemik baru bagi seluruh anggota yang lagi galau dengan korona.
Fenomena simbol spiritual yang menghebohkan selalu membawa makna mistis. Dianggap sebagai tanda bagi umat manusia, beragam interpretasi tidak terpungkiri. Setiap orang punya hak untuk menyatakannya, tanpa adanya alibi yang pasti. Berbagai kabar bersileweran sana-sini, tidak ada satupun yang nyaman di hati.
Kabar buruk - "Bagaimana tidak, ini Patung Dewa lohhh..., kalau tidak ada apa-apanya, pasti tidak akan jatuh."
Kabar duka -- "Pasti akan ada musibah yang datang melanda manusia, kita akan dihukummm... Terlalu banyak dosaaa..."
Kabar sedih -- "Iya, kita memang sudah banyak dosa, sudah waktunya sadar dan bertobat. Mungkin Corona akan menjadi awal dari punahnya umat manusia."
Kabar selanjutnya dan seterusnya tidak usah didengar, pasti tidak lebih bagus dari kabar buruk, duka, dan sedih.
Jika demikian apa yang harus dilakukan? Apakah ada tolak balanya?
Mari kita membaca sebuah kisah dari Ven. Ajahn Brahm, seorang Biksu aliran Theravada yang menetap di Australia.
Beberapa tahun lalu, di halaman depan surat kabar di seluruh dunia, muncul sebuah berita tentang demonstrasi besar-besaran akibat seorang marinir Amerika dituduh mencampakkan kitab suci sebuah agama di dalam kloset di dalam penjara Guatanamo Bay.
Pada saat Ajahn Brahm ditanya oleh seorang wartawan di Australia
"Ajahn Brahm, apa tanggapan dan apa yang bakal Anda lakukan jika seandainya ada orang yang mencampakkan kitab suci agama Buddha ke dalam kloset?"
Ajahn Brahm yang dikenal sebagai pemimpin agama Buddha di Australia langsung menjawab,
"Pak, seandainya ada orang yang mencampakkan kitab suci umat Buddha ke dalam kloset, maka yang pertama kali yang akan saya lakukan adalah memanggil tukang ledeng. Sebagai umat Buddha, kami ini sangat praktis."
Namun sehabis itu, beliau melanjutkan lagi dengan jawaban serius, "Anda dapat saja menghancurkan sebanyak mungkin Tipitaka. Anda bisa saja menghancurkan semua arca-arca Buddha, membakar semua vihara, membunuhi para bhikkhu dan bhikkhuni. ~ Tetapi satu hal yang tidak saya izinkan untuk anda lakukan adalah menghancurkan ajaran Buddha."
"Saya tidak mengizinkan siapapun untuk menghancurkan kedamaian, belas kasih, pemaafan, kebijaksanaan. ~ Arca Buddha, Para Bhikkhu, Vihara adalah bungkusnya, namun isi yang sebenarnya adalah ajaran yang penuh dengan Kedamaian, Kebaikan Hati, Kebijaksanaan yang disebut dengan Dhamma.
*****
Bagi penganut ajaran Tri-Dharma yang masih panas dingin menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, penulis berharap agar cerita singkat dari Ven. Ajahn Brahm dapat membuka hati kita semua, bahwa patung yang hancur tidak akan membawa malapetaka.
Sebagai manusia, memiliki keyakinan adalah hal yang mulia, namun jangan sampai keyakinan kemudian merubah pandangan kita terhadap konsep kebenaran itu sendiri.
Kebenaran yang sejati adalah melihat kepada diri sendiri dan apa yang telah kita perbuat untuk kebajikan. Ajaran Buddha adalah ajaran yang penuh welas asih tanpa pilih kasih.
Tidak ada hal yang pasti atas apa yang akan terjadi, namun kesucian hati tidak terwakili oleh simbol-simbol religi.
Keruntuhan patung Dewa Kong-Co di Tuban pun membawa KEBERUNTUNGAN, seperti yang dikatakan juga oleh Jaman (53) sebagai saksi lokasi.