Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

4 Cara Menyiasati Anomali Waktu di Masa Pandemi

10 April 2020   07:41 Diperbarui: 10 April 2020   08:01 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anomali Waktu. Sumber: Sains-Kompas.com

Di masa pandemi, waktu terasa begitu lama berlalu. Hal yang sama juga dirasakan oleh seluruh keluarga dan para sahabat. "Bosan," mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkannya.

Bagi si Upin yang menelpon "ngadul-ngidul" sejam lamanya, kebosanan jelas telah datang melanda, tapi bagi si Ipin yang "super sibuk", entah apa yang datang menerpa, waktu tetap berjalan lamban.

Apakah yang terjadi? Apakah virus Corona yang beredar juga memengaruhi otak, sehingga semua orang merasakan waktu yang lamban selama masa pandemi ini?

Waktu memang misterius adanya, 24 jam sehari terukur dengan tepat, tapi kenyataan yang dijalani tidak seperti itu. Setiap orang seharusnya menjalankan hidupnya dengan rentan waktu yang sama, sayangnya persepsi manusia tidak menjaga waktu seakurat jam yang bergerak di dinding.

Persepsi individu terhadap waktu memang tidak pernah sama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi, keadaan fisik, dan suasana hati. Pada saat kita sedang bosan, waktu terasa begitu lama berlalu. Sebaliknya pada saat sibuk sana-sini, waktu terasa berlari.

Namun ternyata, aktivitas saja tidak cukup untuk memengaruhi persepsi kita terhadap waktu, kualitas emosional seperti rasa sedih, kekhwatiran, atau tertekan, juga sangat memberikan peranan penting.

Adalah istilah jam biologis yang dimiliki oleh setiap orang untuk mengatur fungsi tubuh. Sistem ini dikendalikan oleh saraf sentral alias otak. Perbedaan sistem biologis pada usia, termasuk salah satu alasan mengapa pada masa kanak-kanak, waktu terasa lebih lamban, dibandingkan dengan saat kita beranjak dewasa.

Anak-anak lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga detak jantung yang memengaruhi tarikan nafas dalam semenit menjadi lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Menurut penelitian, dalam semenit jantung anak berdetak sebanyak 150 kali, sedangkan usia dewasa hanya 75 kali. Hal ini berarti bahwa orang dewasa membutuhkan waktu dua menit untuk mencapai jumlah detak jantung yang sama dengan anak.

Perhitungan matematika sederhananya adalah:

1 menit = 60 detik

Anak -- 1 detik = 150 detakan -- 1 menit (60 detik) terasa 9000x detakan.

Dewasa -- 1 detik = 75 detakan -- 1 menit (60 detik) terasa 4500x detakan.

Dengan demikian maka otak anak akan merasa lebih banyak aktifitas detakan yang dapat dilakukan dalam 1 menit, sehingga waktu akan terasa lebih lama berjalan.

Nah, dalam kondisi penuh kecemasan, ternyata detak jantung menjadi lebih cepat. Masa pandemi, membuat kita mewaspadai banyak hal. Bukan hanya penyebaran virus saja, namun juga masalah ekonomi hingga masalah sosial yang serba tidak pasti. Inilah yang menjadi alasan, mengapa waktu terasa lebih lamban di masa pandemi ini.

Selain itu, rutinitas yang berubah juga memengaruhi persepsi kita terhadap waktu. Maureen Irish, seorang peneliti senior di Institute Neurosains Klinis, Universitas Cambridge, Inggris mengatakan bahwa anomali persepsi waktu berhubungan dengan jumlah proses kognitif yang dibutuhkan.

Misalnya, berapa banyak perhatian yang harus diberikan untuk melakukan tugas tertentu, dan seberapa efektif kita dapat membagi perhatian untuk beberapa tugas sekaligus. Jika rutinitas yang mudah ditebak dilakukan secara berulang-ulang, maka waktu akan terasa sangat cepat.

Inilah sebabnya, mengapa pada saat kita masuk ke lingkungan kerja baru, memelajari banyak hal baru, menyesuaikan diri dengan komunitas baru, waktu terasa lebih lamban. Hal yang sama kita rasakan dengan menyesuaikan diri dengan "lingkungan baru WFH". Suasana bekerja dari rumah, tentu tidak sama dengan kerja di kantor. Rumah sebagai tempat beristirahat tentu tidak sama dengan rumah sebagai tempat kerja.

Di masa kecil hingga usia remaja, manusia cenderung memiliki banyak hal dan pengalaman baru yang ditemuinya. Saat menerima berbagai memori baru, otak akan memprosesnya lebih keras. Proses ini memakan waktu dan tenaga sehingga waktu akan terasa lebih lama. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa waktu berdurasi sama, dan hanya persepsi yang membuatnya berjalan lebih cepat atau lamban.

Bagi yang ingin agar waktu dapat terasa normal, maka ada beberapa tips yang dapat kita lakukan bersama.

Berkonsentrasi Kepada Masa Sekarang.

Di masa pandemi banyak hal yang kita khwatirkan yang belum tentu terjadi. Akhirnya perhatian kita terfokus kepada hal-hal yang tidak jelas dengan penuh ketakutan. Sehingga banyak kejadian yang terjadi saat ini terlewatlkan begitu saja. 

Masa lalu bukan hal yang perlu disesali, masa depan belum tentu terjadi. Terjebak dalam dimensi waktu yang berbeda, membuat kesadaran kita terhadap masa kini menjadi jemu, sehingga persepsi waktu akhirnya menjadi semu.

Berfokus pada setiap pikiran masa kini akan membuat waktu terasa berjalan dengan lebih normal. Cara yang terbaik adalah dengan berkonsentrasi. Sadarilah bahwa kita sedang bernafas, bahwa kita sedang duduk, dan bahwa kita benar-benar ada, sembari mengambil inti kebahagiaan dari masa kini.

Membuat Hidup Lebih Berguna.

Hal ini juga berguna untuk menentukan apa yang akan kita hadapi nanti. Dengan melakukan banyak hal baik dan berguna, maka tanpa disadari, kita telah membuka pintu kehidupan yang lebih baik untuk masa depan.

Jalani hidup dengan berprinsip bahwa setiap hari adalah lembaran baru dan mengunci rapat semua kenangan dan penyesalan akan masa lalu, sehingga kita akan lebih semangat dalam menjalani setiap momen yang dimiliki.

Hidup dengan Disiplin.

Selanjutnya buatlah hidup kita berjalan dengan penuh kedisiplinan. Kesalahan terbesar manusia adalah selalu merasa memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan hal yang sepele, hingga akhirnya membuat waktu terbuang percuma atau justru membuat sibuk tidak karuan.

Membuat sebuah daftar mengenai apa yang harus dilakukan setiap hari dan disiplin dalam penyelesaiannya, akan sangat membantu kita untuk mengembalikan persepsi waktu yang normal.

Buat sebuah daftar yang lebih terperinci, seperti:

Membersihkan Rumah.

Kamar Pribadi -- Ruang Tamu -- Dapur -- Ruang Makan -- Lanjutkan

Membagi sebuah tugas kedalam bentuk yang lebih kecil akan menimbulkan rasa puas dan menambah semangat untuk menyelesaikan target pekerjaan. Dengan demikian maka waktu tidak akan berjalan dengan sia-sia.

Menulis jurnal, buku diari, atau catatan kebaikan juga patut dicoba. Suatu hari anda akan merasa sangat terhibur dengan jurnal yang telah anda buat dan siapa tahu saja, hal yang diwariskan untuk anak-cucu akan menjadi ilham bagi penulis besar untuk membuat karyanya.

Mencoba Hal Yang Tidak "Menyenangkan."  

Agar waktu dapat berjalan dengan lebih excited, cobalah untuk melakukan hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Bisa darimana saja, tidak perlu ribet, hal-hal sederhana seperti membaca buku baru, menonton film baru, atau bahkan melakukan hal yang selama ini terasa tidak nyaman.

Sebagai contoh, bagi sang realistis, cobalah untuk membaca buku atau artikel metafisika dan bagi sang idealis, cobalah untuk mendobrak pola pikir dengan melakukan hal-hal yang tidak sesuai prinsip hati.

Yang terpenting dari semuanya adalah mengembangkan perasaan bahagia. Ada sebuah teori yang dipinjam dari filsafat Buddhism yang bernama "Meditasi Metta" atau mengembangkan cinta kasih.

Caranya tidak sesulit namanya, cukup dengan mengembangkan rasa cinta kepada setiap obyek dan ingatan yang muncul. Sayangilah laptop anda jika sedang mengerjakan tugas, sayangilah piring anda jika sedang makan, dan sayangilah setiap wajah yang muncul dalam pikiran, seburuk apapun yang pernah ia lakukan.

Mengembangkan cinta kasih yang besar kepada setiap obyek akan mengembalikan rasa kebahagiaan yang lebih besar bagi diri kita sendiri.

Selamat Mencoba.  

Sumber:
cnnindonesia.com
suara.com
mojok.co

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun