Beberapa tahun lalu, seorang kawan yang berjualan bahan kebutuhan sehari-hari pernah membagi tips kepada penulis.
"Pokoknya Rud, apapun yang langgananku minta saya kasih ki semua. Memang betul saya jual bahan sehari-hari, tapi kalau ada yang minta ka besi pelat, saya jual tong ki."Â Kurang lebih seperti itu maknanya, meskipun ditulis dalam Bahasa Makassar, seharusnya dipahami ji pembaca.
Ci Susan namanya, menikah dengan seorang pria idaman dari keluarga pedagang, ia kemudian mengambil alih bisnis keluarga mertua, setelah sang suami lebih memilih bisnis ekspedisi.
Sejak ditangani Ci Susan, bisnis melimpah-ruah. Kuncinya hanya satu, dedikasi! Pelayanan ditingkatkan, suplai barang disiapkan, pembayaran ke supplier dilancarkan, harga jual ditekan, dan yang terakhir "Apa Lu Mau Gua Ada, alias PALUGADA."
Istilah yang sempat tenar, namun hilang ditelan kemahsyuran Covid-19, membuat masyarakat semakin lupa, bahwa sejak jaman kakek buyut, inilah kunci kesuksesan.
Meskipun tidak menjual besi, kayu, air, tanah, dan api, namun Ci Susan tidak pernah berkata tidak. Apapun disiapkan dengan cara menelpon ke para supplier "lima unsur" tersebut dan menjualnya tanpa untung, agar pelanggan puas. Hasilnya, ci Susan hanya tidur 6 jam sehari, sibuk melayani permintaan wara-wiri yang tidak pernah sabar menanti.
Oke, sekarang jaman susah...
Social distancing, physical distancing, duit distancing, semuanya serba pangling dan bikin kepala pusing tujuh keliling. Yang namanya tukang bakso, tukang siomay, tukang sate, tidak bisa jualang, karena tidak ada tukang makang (logat makassar).
Masalahnya siapa yang mau beli ditengah-tengah ancaman covid yang membumi? Roda ekonomi tidak berputar karena tidak ada yang menggerakkan.
Lah, memangnya jaman dulu tidak susah?
Setelah Belanda berkuasa, Jepang merajalela, Revolusi membahana, Negara merdeka, Kakek buyutpun susah.
Namun Buyut adalah orang yang pantas dihormati, kalau tidak untuk apa disembahyangi. Apa yang mereka warisi, pantas kita awasi. Andai sang kakek masih hidup, mungkin suaranya akan terdengar, seperti:
"Haiyaaaa... sapa bilan cali uang susa la... dulu engkong lebih susaaaa." (mohon imajinasikan mata sipit berambut kepang satu).
Seperti yang penulis dapatkan dari cerita ayahanda tercinta, kakek penulis pernah menjadi pengrajin plat kendaraan motor di tahun 50-60an demi sekilo beras. (menurut info, plat motor waktu itu diharuskan untuk dibuat sendiri).
Bukan hanya itu, sang ayah yang jago melukispun "dimanfaatkan" oleh kakek untuk melukis "harimau turun gunung" kepada kaum bangsawan yang merindukan lukisan. Hasilnya lumayan cespleng.
Ini belum termasuk, jualan sayur, jualan lontong, jualan baju, jualan obat, dan jualan-jualan lainnya. Tidak ada spesfikasi jualan, pokoknya modal diputar untuk beli makanan.
Nah, kembali ke jaman sekarang, tukang makang tidak lagi mencari bakwang, "Dan para pembeli telah menghilang dari jalan, melakukan karantina mandiri." Seperti yang dikutip dari Berita Kompasiana (https://www.kompasiana.com/topic/siasat-umkm-di-tengah-pandemi)
Tapi para pembeli tidak hilang sepenuhnya, mereka masih melakukan aktifitas ekonomi ditengah semedi. Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan sehari-hari masih tetap harus terealisasi.
Barang sejenis makanan segar, makanan kaleng, sendal jepit, masker, kuota, hingga ke Robuxnya Roblox masih tetap bertransaksi.
Masalah yang harus kita hadapi sekarang adalah PARADIGMA. Bahwa tukang bakso tidak bisa jual pulsa dan bakso hanya bisa dijual berkeliling adalah sesuatu hal yang harus dibongkar.
Cobalah lihat Daeng Toa, tukang parkir professional, mantan tukang becak yang pernah mengenyam posisi satpam, kini telah bertransformasi menjadi penjual cairan disinfectant made in sendiri yang lengkap dengan alat semprotnya.
Tidak usah ditanya yang mana lebih menguntungkan, menjadi tukang parkir atau wirausahawan dadakan, intinya peluang ditangkap cepat dengan mendobrak paradigma.
Bukannya pandang enteng, penulis bukanlah pengusaha sukses dan sangat memahami perubahan jaman. Jaman kakek buyut, on-line shop belum dikenal, Go-Jek belum menggantikan tukang becak sebagai raja jalanan.
Bukannya tidak peduli, penulis bukanlah ekonom tulen dan hanya ingin menyampaikan bahwa selalu ada peluang ditengah keresahan pembatas yang ada.
Jaman memang telah berubah, namun satu hal yang tidak pernah berubah, yaitu semangat untuk tetap berkarya. Kakek buyut adalah kenangan yang telah berlalu, namun wejangan adalah harapan yang takkan hilang.
Tidak ada yang abadi, badai pasti berlalu, hanyalah sekedar semboyan pelega hati.Â
Perubahan adalah segalanya, cobalah berkreasi, apakah ada hal lain yang bisa dilakukan untuk menyambung kehidupan?
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H