Namun Buyut adalah orang yang pantas dihormati, kalau tidak untuk apa disembahyangi. Apa yang mereka warisi, pantas kita awasi. Andai sang kakek masih hidup, mungkin suaranya akan terdengar, seperti:
"Haiyaaaa... sapa bilan cali uang susa la... dulu engkong lebih susaaaa." (mohon imajinasikan mata sipit berambut kepang satu).
Seperti yang penulis dapatkan dari cerita ayahanda tercinta, kakek penulis pernah menjadi pengrajin plat kendaraan motor di tahun 50-60an demi sekilo beras. (menurut info, plat motor waktu itu diharuskan untuk dibuat sendiri).
Bukan hanya itu, sang ayah yang jago melukispun "dimanfaatkan" oleh kakek untuk melukis "harimau turun gunung" kepada kaum bangsawan yang merindukan lukisan. Hasilnya lumayan cespleng.
Ini belum termasuk, jualan sayur, jualan lontong, jualan baju, jualan obat, dan jualan-jualan lainnya. Tidak ada spesfikasi jualan, pokoknya modal diputar untuk beli makanan.
Nah, kembali ke jaman sekarang, tukang makang tidak lagi mencari bakwang, "Dan para pembeli telah menghilang dari jalan, melakukan karantina mandiri." Seperti yang dikutip dari Berita Kompasiana (https://www.kompasiana.com/topic/siasat-umkm-di-tengah-pandemi)
Tapi para pembeli tidak hilang sepenuhnya, mereka masih melakukan aktifitas ekonomi ditengah semedi. Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan sehari-hari masih tetap harus terealisasi.
Barang sejenis makanan segar, makanan kaleng, sendal jepit, masker, kuota, hingga ke Robuxnya Roblox masih tetap bertransaksi.
Masalah yang harus kita hadapi sekarang adalah PARADIGMA. Bahwa tukang bakso tidak bisa jual pulsa dan bakso hanya bisa dijual berkeliling adalah sesuatu hal yang harus dibongkar.
Cobalah lihat Daeng Toa, tukang parkir professional, mantan tukang becak yang pernah mengenyam posisi satpam, kini telah bertransformasi menjadi penjual cairan disinfectant made in sendiri yang lengkap dengan alat semprotnya.
Tidak usah ditanya yang mana lebih menguntungkan, menjadi tukang parkir atau wirausahawan dadakan, intinya peluang ditangkap cepat dengan mendobrak paradigma.