Pandemi Covid-19 membuat gaya hidup berubah dengan sangat cepat. Jabatan tangan sudah mulai terasa asing apalagi cipika-cipiki, "ngeri" dilihatnya! Bukan karena perilaku yang menyimpang, namun itu loh... yang namanya Corona!
Begitu pula dengan berbicara, harus pakai masker, khususnya yang sering berbusa-busa kalau bercuap-cuap, Jarak... Ingat, 2 meter... begitu anjuran pemerintah.
Mati gaya namanya, karena ekpresi wajah yang termasuk penting dalam ilmu public speaking sekarang sudah tidak berguna lagi. Penulis yang ramah dan murah senyum baru menyadari hal ini, setelah ber"hijrah" sebagai pegguna masker dalam beberapa minggu terakhir ini.
Sedih rasanya, senyuman tidak lagi dibalas dengan senyuman dan ketawapun tidak lagi pernah bisa terlepas bebas. Bagaimana tidak? Wong wajah saja sudah hampir tidak dikenal lagi. Hiikkss...
Intinya pandemi ini mengubah seluruh perilaku berkomunikasi secara drastis. Hubungan manusia tidak lagi seperti apa yang biasa dilakukan.
Bagaimana kalau kita mulai belajar jenis bahasa baru? Namanya Bahasa Isyarat, yang tidak pernah "mati gaya."
Bukan hanya untuk tunarunggu dan tunawicara saja, sebagian orang "normal" juga belajar dan berkarya dengan Bahasa Isyarat untuk membantu para disabilitas tuli dan bisu.
Dan tidak hanya itu saja, mereka yang tunarunggu dan tunawicara juga dapat menggunakan Bahasa Isyarat kepada manusia "normal" dan ternyata... Dipahami!!!
Bahasa Isyarat itu mudah loh, tidak susah...
Contoh sederhana saja dulu ya... Jika melihat seorang menaruh telunjuknya didepan hidung, artinya apa? Kalau mengacungkan jempol, artinya apa? Kalau mengancungkan jari tengah dan mata melotot? Hmmm...
Intinya adalah Bahasa Isyarat sudah menjadi bagian dari komunikasi harian, sisa bagaima dikembangkan.