Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kenali Sindrom Psikosomatik dan 4 Cara Efektif untuk Mengatasinya

24 Maret 2020   11:57 Diperbarui: 24 Maret 2020   19:30 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rasa panik (Sumber: Harvard Health)

Sebuah bacaan mengenai Asimtomatik, alias penderita virus Corona tidak menampakkan gejala yang ramai diberitakan, menambah mumet pikiran. "Apakah aku adalah penderita Corona?"

"Hatzhiiii... Hatzhiiii..." Tidak ada lagi ucapan "bless you" dengan senyuman, aku malah dilirik dengan pandangan menjijikkan, "Apakah aku adalah suspect Corona?"

Pulang dari kantor, serasa masuk ke dalam laboratorium steril ala film Hollywood. Semua harus disemprot dengan disinfectant, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kuku.

"Papa pulangggg..." Rumi kecil yang seharusnya memeluk dengan sayang, hanya bisa melongo, "Papa ini kena virus Corona, gak?"

Begitu banyak informasi beredar di medsos mengenai cahaya dan bahaya akan Covid-19, yang hanya membuat hati berdebar. Bersin tadi pagi masih membekas, menambah rasa bersalah kepada jari yang barusan dipakai mengupil.

"Pasar Terong ditutup tadi siang." Kabar terbaru yang didengar, membuat nafsu makan hilang seketika melihat sayur kankung terasi yang biasa dibeli di pasar terong.

Pagi ini, badan terasa sakit, berharap ingus tidak meler, namun apa daya tenggorokan kering membuat batuk menjadi encer. "Aku suspect Corona. Arghhhh...."

Ternyata gejala yang aku dapatkan tidak saja melanda manusia Indonesia pemberani yang pernah berdarah-darah memikul bambu runcing, namun juga ke seluruh penduduk dunia, mulai dari Rambu hingga ke Rambo.

Gejala ini disebut dengan Psikosomatik, alias penyakit yang disebabkan oleh faktor mental yang didorong oleh kekhwatiran yang berlebihan.

Bagi yang tidak suka bahasa sederhana, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan ransangan dari Amygdala (pusat rasa cemas pada otak) ke berbagai bagian tubuh, yang kemudian melepaskan  kedalaam adrenalin (eponeferin) pembuluh darah.

"Amygdala atau pusat rasa cemas sekaligus memori kita jadi terlalu aktif bekerja, akhirnya kadang dia tidak sanggup mengatasi kerja berat itu. Ketidakseimbangan kerja amygdala itulah yang membuat gejala psikosomatik." Demikian ungkap dokter Andri, SpKJ, FACLP melalui akun twiitternya pada Minggu (22/3/2020), yang diambil dari sumber.

Apa saja gejala Psikosomatik, agar kita dapat membedakannya dengan serangan Corona sungguhan? "Sakit perut atau nyeri ulu hati, Sakit punggung belakang, Sakit gigi, Sakit kepala dan migrain, Bernapas dengan cepat, Jantung berdebar-debar, Gemetar (tremor), Berkeringat."

"Lah beda banget dengan gejala Corona?" Iya, tapi suspect Corona adalah suspect Corona sampai ia terbukti bukan penderita.

Pernah dengar mengenai Sugar Pill atau Plasebo? Nah, ternyata dokter juga "banyak tipu-tipunya", tapi sebelum saya digebukin dokter sedunia, saya katakan ulang, "itu karena pasien juga kadang suka ditipu."

Plasebo adalah sistim pengobatan yang tidak berdampak atau penanganan palsu. Berasal dari Bahasa Latin yang berarti "I shall please," atau "Saya akan senang."

Dalam penelitian medis, kandungan dari Plasebo adalah zat yang secara fisik menyerupai obat aktif, tapi tidak memiliki kandungan obat yang sesungguhnya.

Hal ini telah terbukti secara medis, karena keyakinan pasien sesungguhnya yang dapat membantu mereka menggerakkan diri mereka. Nah dari sini, dapat dibuktikan bahwa penyakit akibat kekhwatiran adalah benar adanya.

Pada dasarnya manusia senang dengan kabar gembira dan akan menjadi stress dengan kabar sebaliknya. Susah untuk tidak khwatir di zaman pandemi Covid-19 ini. Siapapun khwatir, termasuk penulis.

Namun ada sedikit saran di tengah krisis harapan yang mungkin dapat berguna bagi pembaca.

Praktik Meditasi
Jika Anda adalah seorang praktisi meditasi, atau minimal pernah mencoba bermeditasi, maka sebuah jargon "If you can't go outside, go inside" (Jika Anda tidak bisa keluar, maka masuklah ke dalam), sangat bagus untuk dipertimbangkan.

Telah banyak penelitian ilmiah mengenai manfaat meditasi yang diyakini dapat menjadi anti-stress yang terbaik. Dengan melakukan meditasi, detak jantung akan melambat, tekanan darah menjadi normal, pernafasan menjadi tenang, dan tingkat hormon stress menurun.

Sebuah penelitian dari Universitas Wisconsin, AS, menunjukkan bahwa praktik meditasi melatih otak untuk menghasilkan lebih banyak gelombang gamma, yang dihasilkan pada saat seseorang merasa bahagia.

Mindfulness (Konsentrasi)
Pada artikel penulis lainnya, penulis pernah menuliskan manfaat dari konsentrasi. Mindfulness adalah "memusatkan perhatian sedemikian rupa, menghayati apa yang sedang Anda lakukan, tanpa melakukan penilaian," kata psikolog dan penulis Rewire Your Brain For Love, Marsha Lucas, Ph.D, dikutip Psych Central.

Dengan kata lain, praktik mindfulness ini adalah sebuah konsentrasi terhadap apa yang sedang terjadi saat ini... Yang terjadi saat ini. Tidak lebih dan tidak kurang.

Perlu diketahui bahwa sumber penyakit batin seperti, risau, resah, khwatir, dan lain-lain sebenarnya adalah sebuah distorsi dalam pola berpikir. Meskipun berupa imajinasi, namun efek yang ditumbuhkan dapat menjadi sangat nyata, seperti gelisah, sedih, bahkan sampai kepada level radikal lainnya.

Selalu berada dalam tahap "sadar" apa yang sedang dilakukan. Sadar bahwa kita sedang berjalan, sadar bahwa kita sedang duduk, sadar bahwa kita sedang berbicara dengan seseorang.

Relaksasi dengan sesuatu yang bisa membahagiakan
Salah satu saran yang terbaik adalah dengan humor. Humor ada dua jenis, yaitu humor sengaja karena memang dilakukan seseorang untuk mengundang tawa dan humor tidak sengaja berupa peristiwa lucu yang terjadi.

Apapun itu, humor adalah cara terbaik untuk tertawa. Menurut penelitian, tertawa dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan fungsi jantung, mengatifkan sel imun, dan memicu sekresi hormon endorphin yang mampu mengurangi rasa sakit.

Selain itu, humor juga dapat memberikan keuntungan tambahan dengan menjadi orang yang lebih menyenangkan dan menambah luas pergaulan sosial.

Mengurangi informasi yang tidak baik
Nah ini yang terpenting di masa pandemi yang penuh dengan infodemics yang menyesatkan, cara yang terbaik adalah mengurangi membaca atau mendengarkan info yang belum tentu benar akan bahaya Covid-19

Bagi yang jarinya terlalu lincah, harap perhatikan baik-baik apakah berita yang didapatkan bisa menimbulkan keresahan? Kalau iya, maka segera hentikan. Terkait dengan semakin meningkatnya wabah Psikosomatik ini, menambah keresahan sama dengan menyebarkan virus pembunuh lainnya.

Bagi yang menimbulkan ciri-ciri virus Corona sesungguhnya, seperti sesak nafas, batuk, pilek, sakit kepala, maka segeralah mencari bantuan medis terdekat.

Bagi yang masih sehat, ingatlah bahwa Anda masih bisa menjadi calon pasien dalam pengawasan, atau malah menjadi carrier bagi orang sekitar. Social Distancing adalah cara yang terbaik, selebihnya, dukunglah langkah pemerintah agar dapat bekerja dengan baik.

Sumber;

satu, dua, tiga, empat, lima

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun