Di saat kecil, kita melihat dunia apa adanya. Permen sebagai sesuatu yang manis, gedung sebagai sesuatu yang tinggi, dan melihat seseorang sebagai manusia. Semuanya begitu indah dengan kacamata "polos" yang dimiliki oleh otak yang lugu.
Namun pada saat beranjak dewasa, permen tidak dilihat lagi sebagai sesuatu yang manis saja, namun juga resiko penyakit diabetes yang akan datang beserta. Manusia tidak dilihat lagi sebagai sesama, namun juga siapakah mereka, bagaimana tampang mereka, apa pekerjaan mereka, dan masih banyak "mereka-mereka" yang lain lagi.
Manusia dewasa memiliki banyak pertimbangan dalam melihat sesuatu. Pengalaman masa lalu yang bercampur dengan kekhwatiran masa depan membuat hidup selalu resah adanya. Tidak boleh disalahkan, karena setiap pengalaman akan menambah wawasan untuk menjadikan kita lebih dewasa lagi.
Namun sayangnya setiap pengalaman yang masuk selalu dinilai dengan pikiran yang diskriminatif. Sebagai contoh seseorang yang trauma dengan kecoa, akan melihat kecoa sebagai binatang kecil menjijikkan yang harus dibunuh, padahal kecoa juga memiliki banyak fungsi dalam menjaga ekosistem alam.
Anak kecil mudah dibohongi, namun tidak mencegah mereka untuk berbahagia, lagi pula sebagai orangtua, tentu kita menginginkan anak kita untuk selalu berbahagia.
Namun, mengapa sebagai orangtua, kita tidak pernah belajar berbahagia dari anak kita?
Hari ini penulis merasa resah, keputusan telah diambil belum mendapatkan respon dari partner usaha. Apakah keputusannya salah? Apakah akan memengaruhi keuntungan perusahaan? Akankah penjualan anjlok?
Pada saat tulisan ini terlintas, penulis sedang berada dalam mobil di tengah keramaian kota Makassar. Membayangkan wajah anak penulis, yang selalu melihat suasana kota dengan penuh senyuman. Penulis kemudian mencoba membayangkan, apakah yang selalu muncul di benak sang anak balita? Ternyata jawabannya adalah Mindfulness, sebuah istilah yang berkembang pesat akhir-akhir ini di dunia barat nan padat.
Mindfulness adalah "memusatkan perhatian sedemikian rupa, menghayati apa yang sedang Anda lakukan, tanpa melakukan penilaian," kata psikolog dan penulis Rewire Your Brain For Love, Marsha Lucas, Ph.D, dikutip Psych Central.
Dengan kata lain, praktik mindfulness ini adalah sebuah konsentrasi terhadap apa yang sedang terjadi saat ini... Yang terjadi saat ini. Tidak lebih dan tidak kurang.
Perlu diketahui bahwa sumber penyakit batin seperti, risau, resah, khwatir, dan lain-lain sebenarnya adalah sebuah distorsi dalam pola berpikir. Meskipun berupa imajinasi, namun efek yang ditumbuhkan dapat menjadi sangat nyata, seperti gelisah, sedih, bahkan sampai kepada level radikal lainnya.