Malam ini mendapat pesan pada lini masa mengenai topik pilihan "Kesadaran Hak Konsumen". Gayung bersambut, topik ini sudah berada cukup lama di benak penulis untuk dituangkan di Kompasiana.
Penulis memiliki sebuah toko yang menjual bahan kue yang terletak di bilangan kota lama Makassar. Sejak toko dibuka, salah satu kebijakan yang diterapkan adalah 0% surcharge atau tidak ada biaya tambahan terhadap semua jenis transaksi dengan menggunakan kartu kredit/debet.
Bukannya tidak bisa menghitung, setelah mendapat penjelasan dari pertugas bank, penulis merasa bahwa biaya yang dikenakan kepada merchant, masih bisa mengcover keuntungan yang memadai.
Memanjakan pelanggan adalah judul utama, namun sebenarnya langkah ini diambil karena kekesalan sering dikenakan tambahan biaya 3-5% jika berbelanja dengan menggunakan kartu. Ajang balas dendam namanya.
Setelah beberapa bulan melakukan kebijakan ini, penulis baru sadar bahwa sebenarnya konsumen memiliki hak untuk tidak dikenakan biaya tambahan atas transaksi dengan menggunakan kartu.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
Secara rinci, dalam pasal 8 menyebutkan "pedagang (merchant) dilarang melakukan tindakan yang merugikan nasabah kartu kredit seperti halnya bekerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), praktik gesek tunai (gestun), dan memproses tambahan biaya transaksi (surcharge). Jika terbukti terjadi pelanggaran maka penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerjasama dengan merchant tersebut."
Sebagai konsumen, kita harus memahami hak kita, apalagi jika sudah dilindungi oleh Undang-Undang yang berlaku. Untuk itu konsumen wajib memahami cara melaporkan dengan benar atas tambahan biaya yang dikenakan. Ada tiga cara yang dapat dilakukan;
- Melapor Melalui Bank Indonesia
Hubungi Contact Center BI (BICARA) pada nomer 021-131 atau email ke bicara@bi.go.id - Melapor Melalui Bank Penerbit Kartu Kredit
Dapat dihubungi melalui Call Center yang dapat dilihat pada kartu kredit. - Melapor Melalui Bank Penerbit Mesin EDC
Informasi dapat dilihat melalui internet.
Nah jika memang begitu adanya, mengapa masih banyak merchant yang mengenakan beban biaya tambahan kepada pelanggannya? Alasan yang paling klasik adalah kurangnya pengawasan dari pemerintah.
Perlu diketahui bahwa merchant akan dikenakan biaya sebesar 1 sampai dengan 1,5% atas transaksi melalui mesin EDC. Namun ini hanya terjadi jika pelanggan menggunakan kartu kredit/debet yang tidak sama dengan bank penerbit mesin EDC yang dimiliki oleh merchant. Sementara untuk transaksi jenis kartu kredit/debet yang sama dengan bank penerbit mesin EDC, maka tidak ada biaya tambahan yang dikenakan.
Dengan demikian, jika merchant tidak mengenakan biaya tersebut kepada pelanggan, maka sebenarnya ia lah yang harus menanggung biayanya. Bisa dipahami, di zaman susah, menekan biaya adalah hal yang diperlukan.
Namun pada umumnya biaya tambahan yang dikenakan adalah 3%. Penulis tidak tahu standar biaya 3% dihitung darimana, yang pasti biaya penggunaan mesin EDC paling tinggi hanya 1.5% saja. Jika alasannya untuk mengurangi beban, maka mengapa harus ada tambahan 1.5% lagi?
Selain itu, mari kita berhitung, dari total transaksi harian, berapa banyak transaksi menggunakan kartu? Berapa banyak transaksi dengan menggunakan tunai, dan juga dari model transaksi lainnya seperti internet banking?
Setiap bulan, penulis selalu mendapatkan laporan atas surcharge yang dikenakan. Hasilnya juga tidak banyak-banyak amat, jika dibandingkan dengan total penjualan keseluruhan, maka biayanya tidak sampai 1% secara rata-rata.
Mungkin para merchant mempunyai perhitungan tersendiri, namun yang pasti tidaklah elok jika biaya tambahan yang seharusnya menjadi beban dari merchant kemudian dijadikan sebagai ajang untuk mendapatkan keuntungan lebih.
Bagi penulis, tidak mengenakan surcharge kepada pelanggan juga ada untungnya, bisa menjadi ajang promosi yang bagus untuk meningkatkan loyalitas customer.
Jujur, banyak pelanggan yang merasa puas atas layanan ini dan kemudian menjadikan toko dari penulis sebagai pilihan untuk berbelanja.
Mungkin hal ini dapat dijadikan contoh, surcharge tidak dijadikan sebagai cost, tapi menjadi sebuah media promosi yang sangat bagus. Tepat sasaran menyentuh hati pelanggan, dan biayanya masih jauh lebih murah dibandingkan dengan promosi konvensional lainnya.
Semoga bermanfaat
Sumber
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI