Berita seorang anak wanita berusia 15 tahun (inisial NF) membunuh anak berusia 5 tahun telah mengguncang Tanah Air. Duka menyelimuti keluarga korban, penyesalan menghampiri keluarga pelaku, tidak seheboh fakta yang mendasari aksi pembunuhan.
Berdasarkan hasil investigasi awal, disebutkan bahwa alasan utama dari pelaku adalah terinspirasi dari film bergenre Thriller. Dua judul yang bertanggung jawab adalah Chucky dan Slender Man.
Usia 15 tahun adalah usia tanggung, masih tergolong "dibawah umur" namun telah memiliki kemampuan dan pengetahuan yang dapat tergolong cukup dewasa.
Opini masyarakat bersileweran, mencari tahu penyebab utama mengapa anak usia tanggung dapat melakukan hal yang belum tentu bisa dilakukan oleh orang dewasa sekalipun.
Sikap stereotyping yang memberikan label "polos" bagi anak dibawah umur membuat nalar tidak habis terkuras. Ditambah lagi dengan pengakuan dari sang pelaku yang "mengaku puas" atas aksinya tanpa menunjukkan tanda-tanda penyesalan.
Mata mulai terbuka, bahwa apa yang tampak belum tentu itu yang benar. Fakta mengatakan bahwa alasan psikologis menjadi dasar bagi pelaku pembunuhan.
Smith memancing sang anak masuk ke dalam hutan dan melakukan tindakan yang tidak dapat diterima dengan akal sehat. Dia memukul sang balita dengan batu, mengikatnya, dan (mohon maaf), menyodomi sang anak dengan batang kayu.
Menurut pengakuan keluarga, Smith kecil adalah anak yang lucu dan menggemaskan. Namun sayangnya penampilannya yang menggemaskan sering menjadi bahan perundungan pada saat Smith bertumbuh lebih besar.
Menurut hasil analisa psikologi, Smith terdiagnosa menderita simtom yang disebut dengan intermittent explosive disorder (IED) --- atau simtom kejiwaan yang menyebabkan seseorang dapat bertindak agresif (violent) secara tidak terduga.Â
Simtom ini memiliki karakter kemarahan yang muncul tanpa sebab dan sikap impulsif yang agresif. Manusia yang memiliki IED biasanya mudah meledak tanpa alasan yang jelas.
Simtom ini biasanya muncul pada awal usia remaja dan dapat menjadi potensi yang memengaruhi stress, depresi dan gangguan jiwa lainnya. Simtom ini tidak dapat terdeteksi secara dini, kecuali individu menunjukkan adanya gejala.Â
Penderita biasanya memiliki potensi menyerang obyek benda mati maupun mahluk hidup. Hal yang sama terungkap melalui pengakuan NF yang suka menyiksa binatang dengan cara yang kejam.
Seberapa besar potensi simtom IEDÂ ini pada manusia? Statistik menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, 7.3% orang dewasa pernah mengalami simtom ini minimal sekali dalam hidupnya, atau minimal sekitar 11.5 sd 16 juta jiwa. Dari total penderita, 67.8% pernah menyerang orang lain secara fisik, 29.9% pernah menyerang melalui ancaman, dan 11.4% pernah meluapkan emosinya untuk menghancurkan barang. Â Â
Meski data statistik ini cukup mengejutkan, namun tingkat agresi yang ditimbulkan cukup bervariasi. Mulai dari hanya sekedar "marah-marah" sampai dengan membunuh, seperti kasus Erick Smith (dan mungkin juga, NF).
Sebagai orangtua, sikap waspada tidak perlu dibarengi dengan sikap ketakutan berlebihan. Dengan fakta bahwa anak kecil-pun bisa menjadi pembunuh, gejala yang ada bukanlah tanpa penyembuhan. Untuk itu, ada baiknya kita mengenal simtom ini dan "bersahabat" dengannya.
Menurut sumber, simtom IED ini memiliki beberapa faktor penyebab yang merupakan kombinasi dari faktor genetika, faktor fisikal, dan faktor lingkungan.  Â
Faktor Genetika.
Ada hipotesa yang mengatakan bahwa simtom ini diturunkan dari orangtua; namun belum ada riset yang lebih spesifik mengenai jenis Gen yang berpengaruh.
Faktor Fisikal.
Riset mengatakan bahwa simtom IED ini terjadi karena adanya abnormalities (ketidaknormalan) dari fungsi otak yang menimbulkan tindakan agresi yang impulsif. Abnormalities tersebut berhubungan dengan aktivitas neurotransmitter serotonin, yang berfungsi sebagai pembawa perasaan nyaman dan senang.
Faktor Lingkungan.
Hipotesa mengatakan bahwa anak-anak yang tumbuh pada lingkungan keluarga, dimana kekerasan sering terjadi, memiliki potensi IED. Hal yang sama juga terjadi pada anak yang sudah sering mengalami kekerasan fisik dalam lingkungan.
Anak-anak ini tanpa sadar tumbuh dengan sebuah keyakinan untuk mengikuti apa yang orangtuanya telah ajarkan. Kepercayaan bahwa mereka harus melakukan kekerasan fisik untuk menyelesaikan permasalahan, juga berlaku disini.
Sekali lagi, kekhwatiran yang berlebihan tidak menyelesaikan masalah.
Dari beberapa contoh kasus pembunuhan oleh anak dibawah umur, IED tidak menjadi satu-satunya penyebab dari aksi pembunuhan. Banyak juga yang berasal dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis, pengaruh lingkungan, dan faktor ekonomi.
Sebagai orangtua, sikap waspada tidak perlu dibarengi dengan sikap ketakutan berlebihan. Dengan fakta bahwa anak kecil-pun bisa menjadi pembunuh, gejala yang ada bukanlah tanpa penyembuhan.Â
Solusi untuk mengobati IED dapat dilakukan melalui konsultasi dengan psikolog atau saran medis dari psikiater. Keduanya penting dilakukan bilamana anak memiliki gejala yang muncul.
Namun solusi yang terbaik untuk menyembuhkan anak yang terluka, adalah dengan memberikannya kasih sayang tanpa batas.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H