Diri kita terdiri dari berjuta juta batin yang memengaruhi cara berpikir, cara berpandang, cara bersikap, dan cara-cara lainnya. Pola ini kemudian muncul dan mencerminkan pribadi dan beraktualisasi menjadi sebuah karakter yang umum dikenal.
Kelihatannya sederhana, setiap hari diri kita dikenal dengan satu label yang bernama Aku. Orang lain melihat diri kita dengan sederhana, sebagai apa yang dikenal dari sikap kita sehari hari.
Namun sadarkah kita, bahwa sebenarnya setiap saat jutaan konflik muncul dalam diri kita? Sadarkah kita, bahwa konflik ini berasal energi energi batin yang timbul setiap milidetik?
Contoh sederhana, pada saat menulis artikel ini, alur pemikiran yang mengalir memberikan instruksi kepada jari untuk bekerja. Namun setiap kata yang ingin dituliskan selalu dihadapkan pada opsi yang berbeda.
Kata "boleh", "bisa", "dapat", "layak" yang sebenarnya memiliki arti yang sama, selalu menjadi pilihan dalam benak. Itupun masih dilanjutkan dengan proses editing yang menghapus, merubah, atau menambah tulisan yang seharusnya sudah pantas.
Berhadapan dengan sebuah obyek sederhana seperti jeruk saja, kita cenderung memilih untuk menikmati atau mengabaikannya.
Penilaian terhadap bentuk, warna, ukuran, belum termasuk memori pengalaman yang berhubungan dengan rasa buah jeruk itu sendiri.
"Manis apa nggak ya...? Terakhir kali, rasanya asam... Tapi minggu lalu manis..."Â Begitu aja kok repot...
Konflik ini muncul, karena adanya konfrontasi pada energi batin yang dikenal dengan nama keraguan, kekhwatiran, ketakutan, dan lain sebagainya.
Tanpa kita sadari, jika kebiasaan kebiasaan seperti ini dibiarkan berkembang, maka suatu hari akan menjadi masif, dan memengaruhi sikap hidup kita. Terlalu khwatir, menjadi stress, akhirnya depresi, dan masuk rumah sakit jiwa.
Jika kita bisa membuat sebuah analogi, bahwa diri kita adalah sebuah desa, maka seluruh energi batin yang kita miliki adalah penghuninya. Desa yang kelihatan damai dari luar, sebenarnya memiliki banyak intrik dan perselisihan diantara warganya.