"Apa lagi ini hari?" Ujarku padanya.
"Dak tau mi deh pak." Balasnya, seolah olah tidak ingin menjadi pahlawan kesiangan.
Tikus termasuk hewan sosial yang suka berkomunikasi. Caranya adalah dengan menggunakan sistem yang disebut dengan urine making. Menandai wilayah dan sumber makanan yang tersedia, dengan menyebarkan urine. Dengan demikian, maka area disekitar jebakan pasti sudah tidak luput lagi dari kencing tikus. Â
Widya, sang kepala toko dengan senyum tanpa daya menyodorkan sebungkus kantong plastik hitam.
"Obat terbaru yang bernama obat biru dari **** (nama perusahaan anti pestisida).
"Kalau dimakan, nanti tikusnya merasa haus dan gerah, dan keluar ki dari toko mencari udara segar." Hmmm... cukup masuk akal, apalagi ada embel embel dari perusahaan terkenal yang pantas untuk dicoba.
Hari keempat setelah Tahun Baru... Dua buah susu cair, satu teh kotak, dan satu bungkus gula cair menjadi korban. Obat Biru...? Membuat sang Tikus haus, hingga mencari minuman segar pelepas dahaga. Sang Tikus.... Masih bebas berkeliaran dengan penuh misteri.
Muchtar, sang supir yang juga montir, konon kabarnya adalah keturunan ke-13 Sultan Hasanuddin. Memiliki keahlian bongkar pasang mesin dan jimat taksin. Menawarkan solusi perangkap tikus buatan sendiri dengan bonus bacaan mantra Abidin.
"Masuk ki ini Tikus besok pak." Ujar Muchtar dengan penuh percaya diri sambil menunjuk ke arah kerangkeng besi buatannya.
"karamak ki inne"Â (keramat), sambil menunjuk ke arah kertas coklat buram yang tertempel pada rang besi.
Akupun hanya bisa pasrah, atau lebih tepatnya berharap agar kehadiran mantra Abidin warisan nenek moyang tidak mencoreng harga diriku sebagai orang Makassar.