Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir... The Show Must Go On

3 Januari 2020   15:30 Diperbarui: 3 Januari 2020   15:59 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir ibukota telah menjadi berita utama yang mengisi seluruh media, dan telah berhasil memadamkan semangat resolusi yang baru saja dibuat.

Suasana euphoria mengalami perubahan dengan begitu cepatnya, dan telah berhasil membangkitkan revolusi jari bagi penduduk ibu kota.

Bencana banjir pada awal tahun 2020 ini, memang unik, selain situasional, juga tidak memandang dampak sosial pada hari libur nasional. 

Muncul pada hari pertama di tahun 2020, menurut BMKG merupakan sebab dari curah hujan tertinggi dibandingkan tahun tahun sebelumnya.

Seperti yang dikutip pada kompas.com.

"Angka ini merupakan curah hujan tertinggi yang menerpa Jakarta, dengan rekor sebelumnya ada pada tahun 2007 dengan catatan 340 milimeter per hari."

Meskipun akibat banjir 2020 ini, 31.323 warga yang berasal dari 158 kelurahan mengungsi, merendam jalan jalan protokol di Jakarta, sejumlah transportasi umum dan penerbangan dibatalkan, pemadaman listrik di 724 wilayah dan menelan 16 korban jiwa, sampai dengan tanggal 2 Januari, namun BMKG belum bisa memberikan klaim bahwa banjir 2020 merupakan banjir yang terparah.

"Belum bisa dibilang terparah karena perlu evaluasi dulu," ujar Subejo saat dihubungi Kompas.com, Kamis.

Penulis kurang setuju dengan pernyataan ini, karena pada hakekatnya, banjir yang terparah adalah banjir yang sedang dialami, bukan yang sudah lewat. Namun ada faktor lain lagi yang juga memperparah bencana banjir 2020, yaitu revolusi jari dari para netizen, khusunya warga Jakarta. Sesuatu yang masih terasa kurang dari musibah banjir 2007.

Berita di media televisi, media cetak, media on-line dan media sosial menjadi momok tersendiri bagi pemerintah, khususnya bagi pemprov DKI Jakarta. Beberapa fakta kerusakan dan korban banjir mengalir dengan begitu cepatnya tanpa ada saringan, menimbulkan empati bagi yang melihatnya.

Ribuan berita, gambar, video, dan opini menjadi penghabis kuota dalam beberapa hari terakhir. Suasana sedih, canda miris, dan sindiran pedis membuat hati serasa dicampur micin. Para selebriti dan politisi yang terkena musibah pun tidak mau kalah, seolah olah jika rumahnya tidak terendam banjir, elektibilitas-pun menurun.

Perdebatan yang sedang viral mengenai Normalisasi vs Naturalisasi, terasa menjadi sebab utama dari bencana, yang sudah digariskan oleh Tuhan, meskipun setiap manusia mempunyai kuasa untuk membersihkan sampah. Menimbulkan kebingunan bagi masyarakat, apakah ini merupakan jargon terbaru dari konstelasi politik pada tahun 2020 nanti?

Untungnya, Presiden Joko Widodo, secara tepat menempatkan dirinya sebagai pemimpin bangsa. Seperti yang dikutip pada artikel di Kompas.com.

"Jokowi meminta pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupaten di Jabodetabek bekerja sama dengan pemerintah pusat menangani permasalahan banjir. Namun, untuk saat ini, Jokowi meminta proses evakuasi didahulukan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun