Maka jika diri sendiri sekiranya belum mampu terhadap perlakuan kita pada uang dan mengelolanya dengan baik untuk diri sendiri terlebih dahulu. Kualitas diri terhadap perlakuan kepada orang lain termasuk anak akan terus dipertanyakan.
Secara ekstrim aku katakan "jika membawa nasib diri sendiri saja tidak becus, janganlah berpikir terlalu jauh dengan pernikahan. Beresakan diri sendiri terlebih dahulu baru berpikir orang lain dan menikah, lalu beranak pinak"
Kembali, pentingnya punya prisnsip atas dasar kemauan menikah dan punya anak perlu di kuatkan kembali. Itulah mengapa aku katakan. Menikah itu kemauan bukan keharusan.
Mau artinya kita siap melaksanakan hal itu termasuk pernikahan. Umur berapapun pernikahan itu dilangsungkan bukan persoalan, yang penting kata siap finansial dan mental di dahulukan.
Kembali cerita pada pertanyaan; aku yang tua tak kunjung menikah menambah pikiran saudaraku itu, yang berpikir sengsaranya menjadi tua tanpa keluarga.
Lantas aku bertanya; jika saya adalah orang yang gagal. Apakah empati kalian "saudara"; tidak lebih mengenaskan? Jika apa yang mereka pikirkan hidup sendirian, juga dirasakan sengsaranya anak-anakku jika aku paksakan menikah?
Bukankah ketika melihatku hidup sendirin, akan lebih berat lagi ketika aku memiliki anak tetapi aku tak mampu memprtanggungjawabkan itu? Hingga akhirnya sanak keluarga juga dengan rasa empati itu? Ikut terlibat dalam membiayai anak-anakku kelak karena rasa simpatinya sendiri?
Abad ke 21 ini memojokan orang-orang untuk menikah bukanlah tindakan yang bijak. Mengingat pernikahan merupakan tanggung jawab besar buka nlagi soal membangun keluarga. Namun juga membangun pundi-pundi uang.
Kakaku yang pernah juga gagal dalam pernikahan. Aku sebutkan tadi omongan siapapun memojokan untuk menikah meski usia tak muda. Bukan harus direalisasikan hari itu juga "yang penting nikah". Berapapun usia menikah asal siap segala-galanya termasuk uang. Itu bukan soal.
Sebab sebelum berpikir menikah dan akan menikah. Hanya diri sendiri yang tahu. Kapan-kapan kita siap menikah. Perkara hidup sendirian efek tak menikah-menikah dan punya anak. Orang yang punya anak pun belum jaminan masa tua akan terus di dampingi anak.
Analoginya anak manusia itu seperti anak burung. Ketika mereka dewasa mereka punya kehidupan sendiri. Yang bisa saja mereka memilih untuk pergi menopang kehidupannya sendiri tanpa terus bersama indukannya.