Dengan segala bentuk dari romansa, problematik, bahkan wacana ke aku-an yang agung membuat, aku harus membangun sendiri kebingungan ini.
Sejengkal mencoba berpikir, merasa, bahkan menduga dengan segenap pemikiran yang tersisa di kepala.
Dari wacana ke wacana "aku" hidup, kepedihan, harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan, aku hanya bisa merangkak, namun aku ingin bisa terbang.
"Sepertinya terdapat kerancuan yang dalam. Begitu dalamnya ia hanya sesal. Mengapa ada kisah tak sengaja ini "kehidupan"? Penjelmaan ini, palsu, menipu dalam kata indah retorika".
Ada lelah di balik suara-suara tak dirindukan, yang bergema dari kejauhan para pelita kehidupan. Kau dan dia, ada karena luka yang terlibat dalam kecewa, pengekangan, dan bedil-bedil senjata yang menganga di sana.
Aku kecewa terhadap dirinya, aku, kamu dan kamu. Lamunannya garing, seperti sawah yang tidak di air-i bertahun-tahun lamanya.
Jiwa-jiwa yang mencintai dengan harapan kehidupan, siap-lah menjemput kekecewaan, yang datang diserambi depan pintu hatinya sendiri.
"Kau akan menjadi sesal, jika kau merasa, kau dan aku dikecewakan oleh harapan cinta romansa palsu kehidupan, atas nama kemanusiaan. Sebenarnya mereka telah luluh lantak, bahkan "ketika kau dan aku hancur bersamanya masa lalu, masa dimana membiarkan dirimu termakan abu, menjadi keabadian, kemudian dilarung dibawah dalamnya lautan itu".
Akan aku lupakan semua, seperti hantu, tidak terlihat, jika terasa rasalah merasa dengan tiada, agar ketenangan ada seperti sajadah yang dibuat untuk beribadah.
Karena sajadah tidak tahu yang kau mau, ia hanyalah tatakan untuk setiap harapan-harapan, yang menguatkanmu, dengan sedikit serakah, menginginkan menjadi sempurna, menurut egomu dan nalarmu sendiri.
Harapan seperti sindrom kekakuan bagi mereka para pelita kehidupan kini. Menginginkan apa yang tidak bisa dilakukan, dengan takut, dengan sedikit, curang seperti mereka para bebal disana dengan peragaan kampanyenya.
Apakah aku juga ingin mencurangi diriku seperti mereka itu? Yang tidak terduga, bawalah aku kegerbang kehidupan masa lalu saja. Agar jalan ini terang, siapa mereka, siapa aku, dan bagimana tentang keminatan kehidupan ini, "meluruskan atau membela upaya hidup mereka para penghuni tepian sungai sana".
Drama yang kita ciptakan seperti "enyah" dimakan jaman. Kegelapan, kuasa, dan sedikit-sedikit soliter tanpa teman dalam menikmati hari. Tulisan-tulisan ini, membawa aku dalam setiap lamunan kegelapan siang, pada hingar-bingar, dan pada cara manusia memandang kemanusiaan. Jelas ini, menggelisahakan, upaya melepaskan hasrat, yang hanya akan menjadi sampah waktu pada akhirnya.
Magrib ini mebawa nyawa bagi jemari-jemariku. Aku seperti ingin melukis perasaan yang tenang, sedikit jujur terhadap dirinya sendiri.
Tetapi ini alam imajinasi bawah sadar, "rasanya seperti melukis kata dengan perut, yang sedang kekenyangan akibat makanan, yang telah aku banyak telan, "memuakan seperti rokok membuat jantung ini teraasa sakit".
Sialnya, perut-ku hanya perut mie instan, yang aku beli di warung sebelah sana, pojokan jalan Matana. Tentang kewajiban, menurut anggapan banyak orang, persetan dengan semua itu.
Aku bebas menjadi diriku, karena semua akan kembali kepada diriku juga pada akhirnya. Dayang-dayang, istri-istri, dalam bentuk bidadari, apakah godaan alam imajinasi kita saja yang terus mendiami otak pikiran ini?
Aku bukan lagi seperti anak kecil, yang mau ditawari tanpa menyadari. Lakukanlah hal itu, hal yang membuatmu jatuh cinta pada dirimu sendiri, tentang berbagai hal yang melampaui. Biarlah relung hatimu yang berbicara padamu, keilahian itu tidak akan pernah luntur dari dan untuk diri kita sendiri.
Bagaimana pun ini, tetap pada tubuh yang sama, dan suasana yang tidak akan jauh berbeda. Manusia harus dengan dirinya sendiri baik senang atau bosan, meskipun hanya bermain di ruang anggapan yang dilamunankannya.
Sepertinya, kenyataan tidak akan membawa ke langit, singgasana ke tujuh bidadari itu. Manusia tetap harus menginjak bumi. Ketika rasa senang ada, kebosanan akan muncul pada hari berikutnya, dan manusia harus tetap, jatuh cinta pada unsur manusianya sendiri, membauang jauh harapan-harapannya, pada dunia secara berlebih dan kompleks.
Sedikit mencuri harapan boleh saja, agar kau dan aku tenang pada nasib kita ke depan, yang sebenarnya fana tanpa kepastian. Dunia membentuk kita sebagaimana adanya, alam pikiran kita, melihat nyawa-nyawa bergelipang emas permata, lalu kau juga ingin menirunya, seperti aku ingin meniru konsep manusia unggul disana, yang masih dalam misteri itu.
Ketika orang berbicara, apa yang salah dari pembicaraan itu? Mungkin benar, tidak semua konsep apa yang menurut satu manusia ideal, "ideal" juga menurut manusia lain. Dalam hal ini menjadi delima mungkin ada, mengapa dikatakan sebagai suatu dilema, karena tidak ada yang pasti dalam manusia bersudut pandang, semua serba apa yang baik menurut penafsirsanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H