Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda "Greget" Pilpres 2014 dan 2024

5 Juli 2022   18:39 Diperbarui: 8 Juli 2022   22:02 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto di pertarungan pilpres 2014 lalu, dimana Jokowi sebagai kandidat yang dicalonkan PDIP karena popularitasnya sebagai walikota Solo.

Saat itu menjadi icon wajah baru figur politik yang sederhana dan bersemboyan kerja, kerja, kerja menjadi kampanyenya di tingkat politik nasional, yang sebelumnya di dominasi oleh elit-elite politik lingkaran militer, intelektual, dan tokoh politik popular di Jakarta.

Maka jika melihat dan merasakan bagaimana greged saya di 2024 besok. Dengan calonnya paling memunculkan beberapa nama seperti Anis Baswedan, Ganjar Pranowo, dia lagi "Prabowo Subianto" dan lain sebagainya dan yang sekarang-sekarang digadang-gadang buat nyapres 2024 seperti Agus Harimukti Yudhoyonno, Puan Maharani maupun Erick Tohir.

Itu semua kurang menarik bagi saya dan saya akan katakan "YES" untuk itu. Kurang menarik sedemikian adanya. Mengapa saya katakan kurang menarik? Bukan mereka tidak punya kapasitas, siapa bilang? Bagi saya mereka yang saya sebut itu; layak kok jadi Capres 2024.

Tetapi layak bukan berarti dipercaya dan memberi harapan. Lagi-lagi mungkin harapan saya yang terlalu tinggi terhadap sesuatu, sampai-sampai presiden pun, saya harap itu tinggi-tinggi.

Bukan apa, seorang presiden mungkin bukan hanya saya saja yang menggantungkan harapan kepadanya, berharap dapat membawa Negara ini dapat lebih maju dan makmur. Tentu saja yang berharap pada presiden itu seluruh rakyat di Negara itu, berharap nasib mereka dapat berubah kehidupannya.

Negara lebih maju dan makmur berarti fasilitas public dapat dinikmati masyarakat secara efektif dan makmur artinya daya beli masyarakat dapat menjangkau itu semua bentuk kebutuhan hidup secara dasar tanpa ada rasa khuwatir akan uangnya besok dibelajakan akan dapat apa.

Sekarang begini, ya betul indoensia makmur saat ini, tetapi apakah kemakmuran itu merata jika di rata-rata penghasilan per-kapita?

Saya kira jika berkaca pada diri saya sendiri sebagai buruh, yang pendapatan sebesar UMK Kabupaten Cilacap di total 1 tahun pengahsilan hanya 24 juta-an. 

Sangat jauh dari makmur dengan harga kebutuhan yang melonjak tinggi seperti pendidikan, pangan, hunian dan kesehatan di tahun 2022 ini.

Untuk itu, dibalik perusahaan yang juga kadang alot dalam mengapresiasi bentuk gaji yang lebih baik kepada para buruh. Ya saya menyadari itu, bisa bekerja saat ini juga merupakan hal yang terbaik bisa di lakukan hidup.

Bagitupun perusahaan, bisa bertahan dengan memperoleh keuntungan dan terus berjalan juga anugrah dari keberkahan. Tetapi jika sudah pasrah begini, siapakah yang benar-benar layak menjadi tempat bergantung pada nasib yang lebih baik?

Ya, saya memang tidak sedang berbicara konteks ketuhanan, yang mana jika kita berbicara tuhan tempat bergantung dan meminta pertolongan. Berarti jika semua tergantung tuhan, bagaimana "action" manusia untuk bergerak sebagai utusan tuhan?

Jangan, ini bukanlah untuk dipahami secara keliru. Tetapi kita orang-orang yang lemah secara factual berharap pada orang-orang yang kuat itu secara kehidupan duniawinya.

Katakanlah disebuah republic, kita orang lemah bergantung pada presiden, yang mana kebijakan dan progamramnya selalu ditunggu untuk memakmurkan, dapat membuat daya beli kita orang-orang lemah lebih baik.

Sebenarnya perkara fasilitastas itu yang efektif, itu soal kedua sebagai warga Negara untuk mendapatkannya dari negara, yang penting adalah daya beli yang baik. Sebab daya beli mempengaruhi hajat hidup mereka-mereka yang orang-orang kecil secara ekonomi.

Kita ulas, 10 tahun yang lalu di pilpres 2014, saya berharap bagaimana presiden dari rakyat jelata, profil keluarga yang biasa-biasa saja dan pembawaan diri yang sederhana itu saya pilih dengan harapan nasib rakyat kecil yang dapat lebih baik karena latar beakangnya.

Tetapi tetap saja, saya begini-begini saja, bahkan nasibnya sama-sama saja tidak beda dari 10 tahun yang lalu. Ini berarti presiden siapapun tidak ada yang special, yang benar-benar dapat menjawab harapan orang banyak.

Yang mana, nasib dapat berubah itu bukan dari siapa-siapa melainkan upaya dari diri bekerja keras dan memperjuangkan nasib sendiri untuk berubah. Jadi maaf sekali calon presiden, tidak ada yang special, bahkan sudah menjadi presiden sekalipun, tidak ada yang special.

Saya pasca pilpres 2014 sudah sadar bahwa presiden bukan satu-satunya hal yang dapat memberikan kita perubahan hidup. 

Dimana suara kita, itulah yang menjadi perubahan hidup mereka calon presiden yang menjadi presiden, kita mah,....sudahlah jangan diteruskan, intinya jangan buta-buta banget berjuang demi perubahan hidup mereka jadi presiden.     

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun