Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan dan Sisi Paradoks "Sudah Mampu"

19 November 2021   08:08 Diperbarui: 19 November 2021   08:45 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti waktu, ia akan terus berjalan sesuai dengan ketepatan. Sama halnya seorang yang benar-benar layak dalam menjalani hubungan pernikahan, " sudah mampu" bukan berarti sudah pasti layak dalam menjalaninya.

Di tengah banyaknya gerakan menikah muda yang tidak sedikit dikampanyekan lewat media social dewasa ini. Bagaimana tujuan dari adanya kampanye "nikah muda", tentu demi anak muda tidak terjerumus pada perbuatan yang melanggar agama seperti zina.

Maka berbicara tentang pernikahan di usia muda, itu memang bukan sebuah pelanggaran social maupun bertentangan dengan norma-norma kepatutan moral di adab ke-21.

Pada dasarnya, tentang pernikahan, semua kembali sebagai bagian dari hak asasi manusia, yang harus dijunjung atas kebebasan pribadi manusia diera millennium ketiga seperti saat ini.  

Nikah muda atupun nikah tua, bahkan mungkin tidak menikah sekalipun, merupakan hak dari masing-masing orang yang tidak dapat dikebiri secara social atas nama pandangan subyektif masing-masing.

Tetapi ditengah keterbukaan informasi, dimana media social semakin maju dalam memfasilitasi kehidupan manusia ber-eksistensi dengan memamerkan sebuah foto atau narasi kata-kata ajaib sebagai sebuah pembenaran, maupun pembagian informasi atas moment-momonet hidupnya, yang layak untuk dibagikan kepada public media sosial.

Kenyataannya menikah dan inisiatif pernikahan di abad ke-21, seakan-akan adalah sebuah tendensi tren bagi anak muda dalam memaknai eksistensinya, berharap memaknai pernikahan dengan sejumlah tawaran kebahagiaan akan gemilangnya pesta pernikahan yang saling memprovokasi di media sosial.

Tren menikah diabad ke-21 seperti sebuah perlombaan, bahkan dengan adanya media social yang menayangkan konten pernikahan. Tidak jarang dari mereka berlomba-lomba menyajikan apa hal terbaik dalam pesta perkawinannya seperti tatanan dekorasi atupun baju perkawinan yang dipandang dapat menjadi sebuah pembeda dengan yang lain.

Untuk itu dan yang patut direnungkan dalam memaknai hidup ini, mungkinkah pemberhentian dari sebuah realitas keganjilan dalam hidup yang serba paradoks, behenti saja dengan impian pernikahan semata dibalik indahnya gaun dan kostum pernikahan ramah media social?

Apakah, alasan megabadikan pernikahan sebagai sebuah moment seumur hidup bisa menjadi rujukan awal sebuah pernikahan yang nyaris sempurna, tanpa ada tantangan pernikahan yang umumnya harus dijalani dengan janji sampai tua bahkan lebih esensial dari itu sampai maut memisahkan?

Inilah pertanyaan yang tentu mengganjal. Banyak orang rela impiannya hanya berhenti di altar pernikahan yang menginginkan pembawaan diri bak cinderela dan pangeran negri dongeng buatan itu, dengan usaha dan kerja keras mencari uang selama hidup mereka untuk mengaksesnya pra pernikahan demi sebuah pesta pernikahan yang menjanjikan.

Di mana biaya pernikahan sendiri banyak dari mereka sampai mengahbiskan puluhan bahkan ratusan juta, yang umumnya hanya dihabiskan beberapa hari saja.

Alasannya mengingat moment pernikahan harus menjadi ritus yang paling sacral abad ke-21 dengan pernak-pernik kemewahan gaun untuk diperlihatkan bukan hanya di pelaminan tetapi juga di akun media social mereka sebagai bahan pengisi beranda yang patut dibagian sebagai bagian dari lompatan hidup.

Bahkan yang terasa lebih ganjil yaitu ilusi dari pra pernikahan dengan sejumlah konsep pernikahan yang di idamkan. Justru kebanyakan, mereka berpikir tentang pesta pernikahannya, bukan focus dari bagaimana kehidupan pasca pernikahan, yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi dua insan yang akan saling bekerja sama nantinya membangun bahtera rumah tangga.     

Barangkali, semua sudah menyadari bagaimana sulitnya membangun keluarga di abad 21 ini dengan sejumlah kebutuhan hidup yang tinggi dengan ketidakpastian ekonomi yang mapan dan terjamin dimasa depan.

Belum dengan masalah pekerjaan yang nyaris menyita banyak waktu diera serba maju seperti sekarang, baik dalam system kerja industrialisasi maupun pasar-pasar digital, yang menampakan sebuah efesiensi dunia kerja memungkinkan tenaga kerja manusia terus tergerus dengan system, yang pekerja nyaris dipingirkan dengan adanya akses teknologi pada peranan dunia kerja.

Disisi lain, system dari kerja sendiri saat ini, di mana bangunan jaminan pekerja sangat rapuh dengan tidak adanya kepastian kelanggengan kerja yang menjajikan dengan system yang sudah umum seperti alih daya, maupun pegawai dengan hanya berupah minimum, hanya cukup untuk akses ekonomi diri saja, tentu menjadi masalah tersendiri harus dipikir secara matang memandang sebuah bangunan keluarga.

Diabad ke-21, pandangan akan pernikahan dengan berbagai kompleksitas masalahnya. Kenyataannya bukan lagi pada "disandarkan" egoism pribadi, hidup, kerja, lalu beranak pinak kemudian mati.

Lebih dari itu, kesadaran akan pernikahan sendiri yakni membuka peluang untuk dapat hadirnya satu atau dua, bahkan lebih manusia baru lahir di dunia, yang juga harus dicukupi semua kebutuhannya, hidup secara layak, selayak bagaimana abad ke-21 ini mengubah prilaku dan cara pandang manusia meredefinisi dunia baru menurut pandangan-pandangan social yang terus bertransformasi.

Tetapi, apakah benar ada keluarga yang benar-benar ideal, bagaimana menata sebuah anggota keluarga sesuai dengan apa yang diharapkan serta ilusi akhir dari sebuah cerita pernikahan diabad ke-21 ini?

Inilah tantangan besar sebuah keluarga diabad ke-21 yang mesti dijalani dengan segenap kesadaran penting dari dalam diri, bukan hanya sebagai trand memandang pernikahan karena usia, ataupun tuntutan social yang sering banyak dijumpai pertanyaan tentang kapan pernikahan itu dilangsungkan.

Realitanya, sebuah keluarga yang sedang dijalani oleh banyak manusia kini adalah sebuah pembagian kerja yang sama sekali tidak ideal dengan konsekwensi masing-masing peran yang dijalaninya.

Di lingkungan tempat tinggal baik di desa maupun kota, ada penafsiran ulang bagaimana sebuah keluarga itu dijalankan perannya dengan sisi keterbatasan akan kukungan ekonomi dan kondisi sosial.

Seorang buruh urban, harus menyadari bahwa berkumpul dengan keluarganya merupakan hal yang tersulit dilakukan dengan waktu yang optimal, sehingga peran mutlak dalam keluarga harus dikendalikan oleh satu orang antara istri atau pun suami dirumah menjaga seorang anak untuk salah satunya mencari nafkah keluarga.

Banyak terjadi seorang suami di desa harus merantau ke kota besar bekerja disana dan istri harus seraba bisa mengurus keluarga di rumah. Atau pergantin peran antar gender yang saat ini menjadi hal yang lumrah terjadi, bahwa laki-laki juga harus siap menjadi suami rumah tangga, dimana istri menjadi TKW di luar negri.

Begitu pun cerita para pekerja di perkotaan yang harus siap melemparkan hak asuh anak pada asisten rumah tangga jika masing-masing dari mereka suami-istri sama-sama bekerja untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.

Namun banyak kasus jika ada peran yang optimal dalam keluarga, di mana keluarga dapat berkumpul sebagai bagian dari keluarga yang utuh, dihadapkan pada masalah ekonomi yang mungkin tidak dapat memberi pengharapan lebih pada kualitas dan tumbuh kembang anak mereka.

Pernikahan abad ke-21, sisi lainnya meruapakan tragedy yang harus disadari sebelum berangan-angan untuk menjalankannya tanpa konsep dasar membangun pernikahan.

Tidak jarang karena lompatan peran dalam keluarga tersebut, menjadi cikal dari bakalnya perceraian yang salah satunya diakibatkan oleh masalah ekonomi atau pun adanya persepsi budaya tradisionalis pernikahan yang masih dipegang dalam keluarga, sehingga menciptakan sebuah konflik baru dalam perceriaan salah satunya masih terbelenggu budaya patriarkis dan egoisme gender.

Kembali, sisi paradox pernikahan adalah hal nyata yang harus diperhatikan peranannya sebelum seseorang memutuskan menikah. Sudah mampu bukan berarti layak menjalani jika tidak ada keterbukaan pemikiran memandang isu-isu pernikahan di abad ke-21 yang tentu kompleks akan permasalahan yang mungkin akan terjadi.

Untuk itu pertama-tama yang harus diperhatikan dari pernikahan merupakan kehendak dan keputusan pribadi, yang memang sebelumnya sudah dipikir secara matang konsekwensinya berserta siap dalam berbagi peran keluarga.

Siapa yang nantinya akan mengurus anak dirumah, yang bekerja, dan mendidik anak-anak. Jika sama-sama bekerja mampukah membayar asisten rumah tangga? Atau jika asisten rumah tangga pun tidak mampu membayarnya, apakah siap orang tua juga ikut mengasuh cucu-cucunya kelak?

Namun jika pertanyaan itu tidak terjawab juga bagaimana, mungkinkah siap menjalani pernikahan tanpa anak? Jika menikah lebih memberatkan hidup, siapkah untuk menjadi lajang selamanya?

Dengan tantangan yang mungkin akan terjadi di pernikahan, sudah mampu seperti kata-kata yang menjebak, yang pada intinya semua dikembalikan pada diri, sudahkah rela mempraktikan sebauah cara hidup baru yang akan dijalani ketika menikah?

Itulah, pernikahan merupakan kerelaan seorang manusia untuk menjadi manusia yang berbeda, di mana manusia itu sudah tidak hanya berpikir mencukupi kebutuhannya sendiri tetapi harus benar-benar rela berbagai dengan yang lain tidak hanya ekonomi.

Tentu lebih, menikah yakni berbagi peran atas pelayanan hidup yang lebih mendasar seperti rela menjadi pelindung tanpa menyusahkan mereka anggota keluarga, meski diri manusia jungkir balik mempertahankan hidupnya sendiri dengan kesusahan yang dihadapinya.    

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun