Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Musik Itu Tanda: Mengejar Cinta sampai Setengah Matipun Buat Apa!

20 September 2021   07:02 Diperbarui: 20 September 2021   07:12 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar bagiamana lagu-lagu cinta itu memantik alam imajinasi manusia yang liar untuk diselami. Dari banyak sederet lagu romatic Grup Band atau penyanyi Indonesia, terus terang itu bukan selera lirik dan music favorite saya.

Entah mengapa, saya bukan tidak menyukai kualitas mereka. Saya kira kualitas dari music dan penyanyi yakni terbentuk secara universal. Tidak mebeda-bedakan latar belakang Negara maju atau berkembang dalam music atau sejenisnya yang berkaitan dengan seni lain-lainnya.

"Kenapa saya menyukai music asing dari pada Indonesia sendiri tentu yang utama karena perbedaan Bahasa. Dengan saya tidak tahu Bahasa dalam lirik lagu tersebut yakni lirik lagu yang berbahasa asing, emosi saya tidak akan tersentuh praktis karena saya tidak mengerti lagu tersebut".

Tetapi ya namanya music, memang dapat saja diselami apapun jenisnya, baik itu masik yang romatic maupun music cadas, yang gunannya untuk mendobrak kebiasaan pendengarnya. Maka dari itu ketika kita hanya mengerti Bahasa music. Kelebihannya adalah emosi kita dapat diukur bagaimana mengntrolnya atas kehendak kita sendiri jika terprovokasi oleh music yang tidak kita kehendaki.

Namun berbeda ketika saya paham lirik lagunya. Emosi kadang tak disadari terbawa dan itulah yang bahaya menurut saya. Perasaan kita kadang dapat tersentuh "roler coster" dari lirik lagu tersebut. Ditambah lirik lagu itu adalah bahasa orang galau, orang sakit hati, dan orang ngarep pada cinta yang lahir dari ilusinya sendiri. Rasanya gak bangt lagu-lagu seperti itu untuk dikonsumsi!

Itulah mengapa lagu-lagu semi koplo berbahasa Jawa, dimana lirik lagunya banyak menjual perasaan romansa mereka yang terus didramatisir dengan goyang-goyang, yang terlihat dan terdengar umum seperti kata sayang, cinta, move on dan berserta anak tetek bengeknya.

Justru itu yang menjadi hambatan bagi jiwa-jiwa dan pemikiran seseorang untuk bertumbuh, dimana hanya perasaan emosi akan romansa yang disetuh bukan pada emosi-emosi lain. Tentu bagaiamana memaksimalkan diri dengan berbagai potensi social yang ada untuk dioptimalisasi bukan hanya cinta saja sebab hidup manusia ini bukan hanya masalah cinta.

Lagu pop Indonesia juga demikian yang dengan lirik dan music semakin syahdu bercampur music akustik, yang terkadang diambyar-ambayrkan berharap popularitanya sama seperti penyanyi legend Indonesia yakni Didi Kempot, yang namanya masyur itu untuk kaum ambyar.

Semua itu bagi saya adalah hal yang dalam menikmati bermusik dan berlirik lagu menjadi sesuatu yang paling buruk untuk didengarkan. Bagiamana tidak paling buruk, terkadang saya ikut galau ketika tidak sengaja mendengarkan lagu-lagu itu emosi terbawa pada cinta yang begitulah. Menurut Cu Patkay, "Cinta Deritanya Tiada Akhir".

Ditambah warna music saat ini  juga terasa agak aneh. Dimana lirik lagu bernuansa Jawa tetapi seperti lagu nasional, yang agak dikoplo-koplokan itu dengan drama cinta yang menurut saya dangkal.

Terus terang saya sedikit agak gedeg jika tidak sengaja dengar lagu-lagu cengeng bernuansa romantic seperti itu. Bagaimana mau bangkit ketika galau terus didramatisir begitu, meski yang menyanyikan lagu tersebut adalah penyanyi papan atas dan bukan kaleng-kaleng di tatar nasional. Lagu galau yang menusuk sampai emosi yang menjadi lemah, harusnya tidak patut kita konsumsi.

"Tetapi mereka yang berseni; para penyanyi atau pemusik, pelukis bahkan penulis sekalipun. Kekuatannya kebermanfaatannya pada masyarakat bukan ada pada nama besar mereka. Tetapi dilihat dari karya yang mereka hasilkan. Mampu atau tidak karyanya tersebut diterima oleh masyarakat, itulah sejatinya kerja seniman yang mempunyai kekuatan sejati, bertumbuh dengan karya untuk masyarakat".

Sebagai bagian dari masyarakat, meski saya sendiri meruapakan orang yang terkadang tidak setuju dengan konsep bermasyarakat. Namun setidak setujunya saya pada setiap konsep masyarakat itu. Pada akhirnya untuk memper'erat eksistensi diri saya. Dilain tempat saya harus tetap berbaur dengan mereka "masyarakat" yang mungkin banyak dari mereka yang terkadang absurd dipikiran saya.

Benar, bukan saya sok pintar, sok unik, maupun sok berbeda dari elmen masyarakat yang ada tetapi buanglah jauh pemikiran itu dimelekatkan pada diri saya. Adakalanya hidup, tidak hidup saya maupun anda, ada pada saatnya akan juga berbada di titik yang menjenuhkan dan seakan diri itu sensitive sekali dengan keadaan diluar diri.

Saya pun saat ini sedang sensitive, biasa seorang yang lajang, sensititivenya tidak jauh hanya masalah menikah yang sering dikaitkan dengan cinta. Padahal tanpa cinta seblumnya, pernikahan juga tetap bisa jalan. Tidak ada kaitannya masalah penikahan dan cinta.

Hanya saja manusia saat ini menerapkan stadartnya sendiri yang begitu tinggi menikah harus dengan cinta. Padahal cinta adalah perasaan emosi yang bisa hilang dikala hati dan pikiran mereka sedang gedeg.

Tetapi komitmen pernikahan itulah seharusnya hal yang harus dibangun. Sebab dari komitmen jika kita memang berniat melaksanakan komitmen pernikahan itu. 

Tentu cinta akan datang dengan sendirinya tanpa perlu sebelumnya ada embel-embel cinta yang terdrama, ditambah terprovokasi oleh lagu-lagu mellow nan melumpuhkan akal sehat itu.

Untuk itu dalam bercinta, dikejar sampai matipun buat apa. Mendengarkan lagu mellow dan galau tidak akan merubah itu dalam mengabadikan cinta. Yang ada kata cinta dapat terbenam saat kita sedang gedeg. Tentu pada apa yang dinamakan cinta romatic itu sendiri menurut persepsi kita.

Sekali lagi, cinta itu ilusi. Hanya permainan pikiran yang terbawa emosi dari lagu, novel maupun cerita-cerita film yang terdrama.  

Saya kira dengan mengawali niat berkomitmen menjalin hubungan romatic, disitulah awal mula sebuah hubungan dilandasi dengan cinta. Sebab konsistensi berkomitmen itu akan melahirkan benih-benih cinta bagi yang melakukannya.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun