Aku memang tidak lagi ingin bergeming. Tetapi saat aku dobrak pintu-pintu kemalanganku, seakan aku telah hilang menjadi abu yang tak akan kembali lagi.
Entah bagaimana arah angin itu akan tampil dihadapan wajahku. Seperti tongkok yang tak mau tegap menantang kehidupan malam dengan sedikit dingin dan awan kabut yang menyelimuti tubuhku.
Tentang anugrah kemalanganku, sudah aku kubur dalam-dalam, yang tak ingin aku keluarkan walau hari-hariku kini menjadi tenang dan dilumuti dengan kedamaian.
Tetapi apakah ketenangan dan lumut kedamaian ini akan selamanya? Mungkinkah manusia akan kekal dalam ketidak malangannya? Atukah kemalangan sendiri adalah bagian hidup yang harus terus akan dirasakan olehku dan banyak manusia disana?
Gembala-gembala kecil dari jiwa-jiwa yang terhimpit, ditengah nestapa penderitaan dan ilusi dari kebahagiaan rohani yag tersimpan didalam goa-goa kegelapan.
Petani-petani diujung desa sana dengan sedikit mengenal teknologi. Tak ubahnya jika ingin meracun ramput supaya mati, kenyataannya tentu rumput itu tidak sepenuhnya mati.
Dimana racun rumput tidak akan pernah membendung tumbuhan untuk tumbuh kembali sepertinya jiwa dalam bait rainkarnasi seperti apa yang tertuang dalam teologi dari negri hindustan itu.
Sepertinya sama dengan nasib manusia diantara kebahagiaan, kemalangan, dan kekalutan yang menjadi cerita tetap tentang hidup mereka yang kekal.
Apakah sama halnya sebuah kemalangan itu adalah kebahagiaan? Ataukah itu adalah kekalutan yang lahir dari sebuah kebosanan? Oh, yang tak aku sadari ini, jungkir balik narasi hidup yang riang tetapi tak sedikit pun membuat kegembiraaan yang kekal.
Obraolan yang kosong tetapi mengapa lebih menarik dari obrolan yang mendalam? Tentu kemedalaman obrolan yang khusuk adalah bagaiamana ia mengobrol dengan dirinya sendiri dan menganggap mengobrol dengan orang lain yang pada ujungnya membicarakan orang lainnya lagi merupakan sesuatu yang sia-sia.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!