Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Balik Sebuah "Value" Diri

19 Juli 2021   16:36 Diperbarui: 19 Juli 2021   16:42 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:pixabay.com

Sejenak, apa yang seharusnya dikontempalsikan lagi pada ekistensialisme hidup adalah mempertanyakan hidup itu sendiri. Bukan kita digiring untuk menunggu sebuah nasib yang biak, atau takdir yang sudah kita anggap sebagai sebuah ketetetapan semesta.

Namun dibalik itu, self power dalam diri juga harus benar menjadi acuan bagaimana kita memposisikan hidup kita sendiri. Sudahkan kita membangun self power yang bukan saja menjadi pedoman hidup tetapi juga menjadi karakter bagi energy hidup kita?

Semakin hari dibalik semakin banyaknya media-media hidup yang justru semakin menegelamkan kekuatan diri. Diabad ke-21 ini merupakan abad dimana media sebagai sebuah pengaruh telah meracuni hidup kita tanpa disadari.

Lewat media-media yang ada termasuk kecenggihan teknologi didalamnya, opini-opini pribadi seseorang itu justru dapat membunuh apa yang dinamakan power bagi diri kita sendiri. Tentu jika kita tidak mampu menangkis apa-apa yang justru kita konsumsi dari pihak-pihak yang ada diluar diri kita secara mutlak.

Bukankah dari banyak media termasuk kanal-kanal yang dapat dibangun secara pribadi seseorang dimedia social, jika kita tidak selektif dalam memilih konten-konten apa yang disajikan dapat mempengaruhi psikologis kita tanpa disadari karena kita juga akan terpengaruh dengan isi-isi pemikiran mereka?

Tentu ini sudah banyak terjadi, konten insecruce atau konten-konten yang "galau" pada diri mereka sendiri diera digital ini telah menjadi jambalan diberbagai media termasuk yang lebih dominan yakni media social sebagai medianya publik.

Lagu-lagu galau, cerita-cerita insecrure tenatang romansa, bahkan ketakutan akan masa depan itu sendiri bagi manusia, selalu menjadi bias yang banyak tersedia di konten-konten media social. Mungkinkah kita dapat terhindar dari itu ketika media sendiri begitu melekat pada kehidupan kita?

Tetapi konten-konten membangun sebuah kepribadian yang positif juga tetap ada walau mungkin jumlahnya masih lebih banyak dari konten-konten insecure dimedia social, yang terkadang berlebihan dalam mengeksplorasi diri mereka sendiri.

Yang dimana kebanyakan konten insecure tersebut adalah pandangan-pandangan seseorang yang terkadang berhalusinasi pada harapan hidup itu, yang nyatanya tidak realistis dan cenderung hanya delusi, yang bersifat ilusif lahir dari kapasitas mereka berpikir tentang memandang hidup secara dangkal.

Saya menganggap bawasannya semua konten yang tersaji dimedia khususnya media social ditentukan oleh sumber daya social pengguna media sosial, dimana konstruksi social lebih didominankan pada ukuran sumber daya manusia rata-rata yang ada.

Tidak lain, kemudahan teknologi dan kemudahan diri dalam mengeksplorasi keberadaan seseorang yang lain dan saling pengaruh mempengaruhi dimedia social termasuk memproyeksikan diri pada suara-suara yang direproduksi diri masing-masing dimedia social mereka.

Dan jika itu dipublikasi dan dikonsumsi, semua konten yang terkandung akan menjadi virus-virus pemikiran yang seharusnya bisa ditelaah oleh kita bagaimana nilai dari konten-konten mereka yang telah disajikan. Tidak lain adalah supaya diri kita tidak ikut terpovokasi pada setiap opini yang ada.

Jangan sampai jika kualitas konten yang disajikan itu buruk dan mengganggu psikologis kita dalam bernalar sehat, kita harus dapat memproteksi diri supaya kita tidak jauh dalam mengkonsumsi konten-konten bernilai rendah itu.  

Salah satu yang mungkin menjadi contoh nyata adalah konten bertemakan cinta, dimana cinta yang dangkal tentang bagaimana mengejar-ngejar cinta supaya sukses dalam romanasa menjadi topic yang sangat menarik bagi anak-anak muda saat ini dimedia social, termasuk konten mengeksplorasi kegalauan mereka akan cinta romatic itu sendiri.

Memang untuk pengembangan dalam romansa sangat diperlukan pengetahuan akan cinta tersebut bagi kita. Tetapi bukankah semua pengetahuan dikonsumsi juga ada takaran yang akan mempengaruhi pengetahuan itu sendiri supaya efektifitas dari pengetahuan itu dapat kita dirasakan manfaatnya bagi diri kita sendiri?

Kembali lagi semua adalah konteks, pula dapat dikatakan momentum apa yang pas dalam mempelajari sesuatu terkait dengan pengetahuan. Karena terkadang banyak dari kita mempelajari cinta hanya bagaimana pendapat pribadi seseorang yang menjadi acuannya.

Pengetahuan akan cinta itu sendiri secara tidak disadari sangat dipengaruhi oleh sisi psikologis kita, bawasannya dalam cinta ada harapan, bahagia dan sakit hati yang akan terus dirasa ketika harapan akan cinta itu sendiri tidak dapat diwujudkan oleh kita.

Maka dari itu banyak-banyak narasi akan pembualan, euphoria, ataupun kiat-kiat sukses dalam romansa yang saat ini manusia abad-21 dalam kehidupan yang sebenarnya sudah tidak ramah pada narasai membangun cinta romantic itu sendiri karena dihadapkan pada waktu mencari uang (ekonomi).

Belum dengan mayoritas pekerja di Indonesia yang gajinya berpatokan dalam menerima upah hanya sekedar UMR yang sangat tidak ramah pada pemenuhan bangunan keluarga di abad ke-21, dimana gaji UMR hanya cukup untuk diri mereka sendiri.

Untuk itu, banyak dari kita saat ini diukur dalam nilai, bagaimana nilai ekonomi kita, kepribadian kita, dan nilai-nilai social kita dalam kompetansi mengarungi kehidupan. Dengan kita bernilai, sebenarnya itu adalah ukuran bagaimana kita menjalani hidup bawasannya nilai kita seharusnya dapat membuat kita semakin percaya pada diri entah seberapa pun hasil uang dan kepribadian yang kita dapat raih.

Saya kira kekuatan dibalik sebuah nilai atau "value" manusia ada pada rasa percaya pada diri, menghargai diri dan tidak mudah memprovokasi diri untuk sama dengan orang lain. Hidup ini punya kita, milik kita dan keputusannya ada pada kita.

Jadilah orang yang bernilai, karena orang bernilai tahu diri bagaimana mencapai sebuah nilai yang sebelumnya akan dikehendaki oleh dirinya sendiri. Entah itu dalam ekonomi, pergaulan social, maupun moralitas pada diri untuk kemuliaaan hidup yang dapat kita raih dengan diri sendiri sebagai ukurannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun