Mungkinkah dengung Gunung Semeru itu tetap akan memanggil ketika roh sendiri telah menunjukkan ajal dari kebuntuan akan ide dalam karya-karyanya tersebut?
Ingin saya menghisap jari, terkadang berimajinasi pada kebuntuan, lalu dikobarkan asap kedamaian itu, rasanya mungkin dapat saja ia membayar kebuntuan suatu ide.
Akan tetapi dalam membuat suatu asap kedamaian itu, harga-harga tembakau sudah dipajaki dengan mahal oleh pemerintah, sehingga sebuah karya dari kerja sendiri jika tidak banyak hasilnya, akan sayang jika dibelikan asap kedamaian dan lebih baik untuk mengenyangkan perut.
Maka, mungkinkah hanya asap saja yang akan memantik ide-ide tersebut untuk dikembangkan lagi seperti apa yang pernah dilakukan, dan itu berhasil sebagai sebauah karya yang fenomenal dan dihargai?
Entah mengapa saat ini, berkarya sendiri, yang dipikirkan adalah apakah karya itu dapat menghasilkan? Dan tentang semua itu, di peradaban yang kapitalistik ini, apa-apa harus dipenuhi dengan uang. Tanpa uang berkaya pun mungkin akan macet. Karena otak sendiri butuh asupan tenang dari mencukupi kebutuhan badannya sendiri.
Nyatanya dihari-hari menjelang ajal kematian manusia sendiri, sepertinya orang-orang tidak akan dapat lari. Berdoa pun untuk tidak dicabut ajal itu hanyalah kesia-siaan dalam ketakutan manusia, apa lagi dirinya menawarkan uang hasil jeri payahnya menukarkan waktu pada malaikat, tentu itu tidak akan bisa.
Tetapi bukankah manusia sendiri terkadang terbaui dengan uangnya, bukan terbuai dengan kapan akan ajal sendiri menjemputnya? Rambut ini semakin memutih dengan transformasi umur yang terus akan berlangsung seperti atmosfir bumi yang tetap mengada pada porosnya.
Yang perlu diperhatikan sendiri, sudahlah, kamar ini memang sudah saya ibaratkan kuburan akan kematian-kematianku, ide-ide sendiri nyaris tumpul dan terbunuh. Bukankah hanya harapan yang akan menjawab bagaimana saya sendiri akan membangkitakan ide-ide saya untuk terus bangkit?
Lamunan atas dasar dari kekecewaan pada garis nasib, janganlah disesali sebagai sebuah penafsiran akan takdir itu sendiri. Sebab sampai kapan pun takdirmu, akan enyah ditelan gelap malam dalam waktu singgah kehidupannya.
Untaian demi untaian kata-kata, syair yang mungkin akan membangkitkan dengan cahaya-cahaya dalam kegelapan malam ini. Suara jangkrik itu, apakah tanda kehidupan yang nyata dari sebuah penafsiran baru dari era ide-ide ini akan ditampilkan?
Wajahnya yang terkadang menipu, ia sungguh sesal, dan ia juga bagaikan siraman rohani yang ingin saya tampilkan dalam setiap karya-karya ini. Menulis tentangmu adalah luka dalam diriku, mengapa saya tidak mampu meyakinkanmu adalah pertanyaan bagi hati kecilku yang kau lukai.