Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bertrand Russell, Bahagia, dan Kekecewaan Manusia

13 Desember 2020   20:01 Diperbarui: 13 Desember 2020   20:04 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang menjadi manusia, semua bentuk kesulitan itu ada dalam pikiran kita sendiri. Tetapi menjadi manusia, kembali lagi sebenarnya tidak semudah apa yang diinginkan pikirannya.

Dari sekian banyak manusia tentu siapa yang tidak ingin hidup bahagia, saya kira semua orang jika ditanyakan, apakah ingin kebahagiaan dalam hidupnya? Jelas semua orang menjawab iya.

Tetapi manusia sendiri kenyataannya adalah mahkluk yang kompleks. Bukan apa, karena manusia mempunyai pikiran yang mempengaruhi mood hidupnya sendiri sepanjang waktu kehidupannya.

Sebab sumber dari bahagia atau tidaknya menjadi manusia, justru semua berasal dari pikirannya sendiri. Maka dari itu, justru "kebahagiaan" dapat dicapai ketika manusia tidak berpikir atau menghilangkan pikirannya sendiri.

Namun bisakah manusia hidup tidak berpikir? Mungkinkah pikiran itu memang seharusnya dibunuh? Pada kenyataannya seorang manusia dapat hidup justru karena pikirannya.

"Tanpa pikiran, manusia bukanlah manusia. Manusia tanpa pikiran hanya obyek pajangan yang diciptakan tanpa nilai. Untuk itu manusia harus menciptakan suatu nilai dari pikirannya sendiri".

Bukankah manusia diciptakan oleh sang pencipta untuk memberi nilai pada kemanusiaannya, bawasannya hidup manusia harus dapat mengilhami dirinya sendiri terlebih dahulu?

Maka dari itu banyak ketidaksadaran muncul diakibatkan dari pikiran manusia. Sebab tidak terima pada keadaan dirinya saat ini menjadi sebab munculnya rasa kecewa yang membuat manusia tidak akan pernah bahagia.

Mungkinkah menjadi manusia, memperbanyak rasa syukur itu sangat perlu dilakukan sebagai sebut terapi pada setiap rasa tidak bahagia?

Karena berpikir tidak mungkin dapat dihindari, besyukur akan hidup apapun yang sudah dilalui perlu untuk memperkuat hidup manusia itu sendiri. Bersyukur adalah obat dari kekalutan dan penderitaan manusia.

Karena ada kalanya hidup itu tidak seindah apa yang diri kita inginkan. Tatanan dan nasib hidup, saya kira bagaimana manusia itu mengusahakannya. Sedangkan pikiran sendiri adalah angan-angan yang tanpa diusahakan harapan kita tidak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.

Untuk itu menjadi manusia yang hidup. benar apa yang ditulis oleh Bertrand Russel dalam buku filosofi hidup bahagia bawasannya;

"Hidup ini terlalu singkat kalau kita harus menyukai segala hal. Namun, ada baiknya kalau kita tertarik pada sebanyak-banyaknya hal yang bermanfaat untuk mengisi hari-hari kita".

Saya sendiri menyangka ketika manusia mengoptimalisasi dirinya dengan hal yang bermanfaat, pasti manusia akan membuahkan sebuah karya yang dapat dibanggakan setidaknnya untuk dirinya sendiri.

Karena pada akhirnya dengan karya tersebut, pada ujungnya selalu saja dapat dijadikan acuan kebahagiaan yang nyata bagi manusia.

Sebab pada hakekatnya pikiran manusia selalu mengukur, apakah yang dapat manusia perbuat untuk hidupnya? Disitulah pikiran akan terus membayangkan bagaimana peran diri sebagai manusia itu sendiri untuk diterjemahkan oleh persepsi dirinya sendiri.

Apakah hidup kita itu sudah optimal? Saat pertanyaan seperti itu mencul, jika kita memang belum mempunyai karakter yang kuat dalam hidup.

Pikiran kita sendiri yang justru akan merobahkan dirinya untuk jatuh pada upaya mebanding-bandingkan dengan orang lain.

Saya contohkan dirinya saya sendiri, yang mungkin saat ini merupakan seorang penganguran. Jelas diukur dalam pertimbangan materialism, tidak mungkin saya ada nilainya oleh orang lain.

Sebab umumnya seorang pengangguran, ia tidak dapat mempunyai hasil yang dapat dikatakan sebagai nilai; anggap saja rupiah.

Tetapi, apakah mungkin manusia harus menyerah pada sesuatu yang umum, dalam hal ini ia tidak bisa mengimprovisasi dirinya untuk optimal, meski ia bukan seperti orang lain yang dapat bekerja di perusahaan?

Kenyataannya manusia dalam pikirannya sendiri diberi insting untuk bagaimana caranya bertahan hidup oleh suatu yang alamiah, bisa dari bakat maupun tuntutan lingkungan yang memaksa untuk bertahan hidup.

Bukan apa, jika memang manusia tidak dapat bergantung pada sesuatu yang ada diluar dirinya sebagai jalan keluar tantangan hidup, bukakah kita harus dapat bertahan hidup dengan cara kita sendiri? Yakni menjadi mandiri, dimana dapat mengoptimalisasi diri sendiri untuk bertahan hidup?

Keadaan yang tidak pasti membuat diri-diri manusia yang bergantung sepenuhnya pada orang lain sebenarnya ia tidak mempunyai kemapanan dalam hidupnya sendiri.

"Hidup bergantung pada sesuatu yang ada diluar dirinya, sebenarnya dapat dikatakan bawasannya manusia tidak akan menjadi mandiri".

Sebab hidupnya sepenuhnya digantungkan pada sesuatu yang ada diluar dirinya sendiri yang sampai kapanpun tidak akan menjadi manusia kuat.

Seperti contoh pada masa pandemic ini, saya tidak berpikir akan di PHK oleh perusahaan tempat saya bekerja. Tetapi pada akhirnya keadaan yang memaksa untuk merasakan PHK.

Sebab keadaan ekonomi dimasa pandemic, memaksa orang-orang yang kurang beruntung seperti saya untuk kembali pada kemapuan diri, mengoptimalisasi dirinya sendiri untuk tetap dapat bertahan hidup.

Mungkinkah dalam bertahan hidup sendiri manusia harus dapat berdikari? Pengertian berdikari berarti seseorang yang berdiri diatas kakinya sendiri atau kemampuannya sendiri?

"Yang jelas pada saat manusia hidup tidak bergantung pada orang lain, mampu mengoptimalisasi kemampuannya sendiri, akan membuat diri manusia mampu mengadaptasikan diri pada keadaan apapaun".

Sebab sesulit apapun hidup pasti ada jalan keluar yang setiap diri manusia sebenarnya mampu keluar dari masalahnya sendiri.

Maka dari itu jika manusia kecewa pada diri sendiri, sebenarnya ia hanya manusia yang tidak mampu mengoptimalisasi dirinya untuk memandang hidup yang lebih baik.

Kekecewaan pada hidup yang tidak seperti apa yang diinginkan memang sangat mungkin itu terjadi. Sebab tidak ada yang sempurna dalam menjalani hidup ini.

Dan sesuatu yang membuat kecewa sebenarnya haruslah disadari. Bukan apa kececewaan yang terus diratapi akan membuat hidup manusia tidak akan pernah merasakan bahagia.

Jika memang nasib tidak seperti apa yang dibayangkan, seperti apa yang diinginkan, sadarilah bawasannya apapun yang mampu diusahakan oleh diri, disitulah kebanggaan bagi diri kita sendiri yang sejauh ini dapat terus bersemangat memperjuangkan hidup.

Karena pada akhirnya hidup, semua kembali pada apa yang bisa kita lakukan pada masa krisis yang sedang dilalui dalam menjalani hidup. Maka apa yang dapat dilakukan sebagai sebuah nilai dari bertahan hidup, disitulah harus tetap harus dioptimalisasi manusia.

Jika anda seorang seniman, tetaplah melakukan prakatik seni untuk bertahan hidup. Begitu juga bisnismen, atau lain sebagainya yang menjadi keahlian diri kita sendiri tetaplah untuk melakukan hal yang dapat diubah menjadi sebuah nilai. Sebab bagaimanapun manusia harus tetap melanjutkan karyanya untuk dapat hidup dan merasakan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun