Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Luka Batin, Penderitaan, dan Kesadaran

13 November 2020   07:20 Diperbarui: 13 November 2020   07:25 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: teahub.io

Seperti yang tidak lagi tergambar jelas. Saya seperti sedang memendam luka yang begitu dalam. Ada kalanya manusia harus merasakan apa yang sebenanrnya tidak mau dirasa oleh dirinya.

Tentang bias, saya seperti jatuh didalammnya. Terkesan saya mengasingkan diri saya lagi untuk beberapa kalinya hingga saat ini. dibawah lorong gelap nan membosankan dari rendahnya titik hidup ini.

Memang dengan mental, terkadang tubuh yang kuat dapat pula ia akan sakit. Tidak lain dengan kesakitan mental itu, semua terjadi atas kehendak dirinya sendiri yang ingin merasakan sesuatunya dengan memaksakan kehendak diri.

Dimana manusia tidak mampu lepas dari cengkeraman merana dalam batiannya sendiri atas tidak maunya takluk oleh pikirannya yang mendominasi jalan berpikirnya sendiri.

Dengan kesakitan, lebih baik sakit fisik, sakit mental sungguh sangat menyakitkan hati dan perasaan manusia. Tetapi apapun itu antara sakit, tua, dan mati adalah takdir yang harus dilewati oleh semua manusia.

Maka dari itu kekecewaan pun tidak akan mungkin ada artinya. Kecewa itu terkait dengan kekecewaan apapun, baik rasa tidak disayangi atau keinginan yang tidak ada habisnya membuat luka batin.

Untuk itu dengan luka batin yang dalam dirasakan oleh manusia, mungkinkah akan ada ujung dari sembuhnya luka tersebut yang dirasakan manusia?

Luka batin nyatanya memang bertumbuh dikala tidak disembuhkan dari akarnya. Sebab batin sendiri, pada saat ia merasakan gairah luka itu kembali, tetap rasa yang sama akan muncul yakni rasa sakit dalam batinnya sendiri.

Entah dari mana luka batin itu berasal nyatanya setiap manusia yang hidup akan merasakan peneritaan. Luka batin adalah bagian dari sakit mental yang seperti sudah menjadi suratan takdir manusia.

Maka dari itu luka batin mau tidak mau juga harus dirasakan sebagai latihan, bawasannya mentalitas hidup selalu saja tertantang, dimana mampu atau tidak manusia mengontrol dirinya sendiri untuk berada dengan dirinya sendiri.

Mampu atau tidak diri mengendalikan dirinya sendiri. Untuk hidup sebagaimana adanya dengan takdir yang  tidak bisa untuk dilawan oleh manusia.

Kenyataannya memang hidup adalah penderitaan. Tidak kurang-kurang Sang Budha berkata dalam ajaran kebijaksanaannya.

Supaya dalam hidup meski menderita manusia dapat melatih dirinya sendiri. Supaya tidak jatuh pada lubang pendiritaan yang secara terus menerus dirasakannya tanpa akhir dan mampu bahagia dalam jeda.

Sebab penderitaan tidak lebih diciptakan sendiri oleh manusia sebagai seorang pribadi. Karena itu dalam hidup menyadarkan diri adalah cermin yang harus manusia hidupkan.

Oleh sebab itu menjadi manusia, tidak hanya akan merasakan hidup yang menderita tetapi dalam penderitaan itu manusia juga berharap akan kebahagiaan, yang ia ingin tempuh sebagaimana hasratnya menginginkan untuk bahagia.

Tetapi apapun bentuk dari setiap derita hidup nyatanya memang harus dihadapi. Tidak lain untuk latihan mental manusia, mampu atau tidak dihadapkan pada ilusinya sendiri. Sebab banyak orang bijak berkata bahwa hidup adalah mimpi yang sementara.

Jika penderitaan tidak untuk disadari, hidup tidak akan pernah merasa syukur dan selalu mempersalahkan diri sendiri. Maka dari itu faktor-faktor pada kesadaran akan rasa sakit dirasakan manusia.

Luka yang dalam seharusnya disiasati dengan kesadaran akan hidup. Sebab hidup sendiri tidak bergantung pada sesuatu yang ada dilur diri, melainkan semua rasa baik derita dan bahagia berasal dari kita sendiri.

Rasa cinta dan benci berasal dari pikiran yang kurang akan kesadaran. Jika dipikir mencintai adalah hal yang bergantung pada suasana hati. Begitupula dengan rasa benci, sudah pasti berakar dari hal yang sama yakni adanya kecacadan pada mentalitasnya sendiri.

Maka dari itu standart hidup bukanlah ukuran. Semua manusia jika dihadapkan pada keinginan tidak akan pernah ada habisnya dalam memandang kehidupan. Bawasannya jika manusia melihat orang lain hidupnya tidak akan pernah selasai.

Jika mencintai orang lain adalah luka, begitu juga dengan harapan akan nasib yang mulia tidak terwujud terlalu diharapkan akan membuat suatu luka batin yang dalam.

Saat itulah kita sebagai manusia harus mengasihi diri sendiri jika luka batin itu datang. Hidup bersama cinta kasih, baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang memang dikasihi, bersama dengan kesadaran yang harus menjadi dasar melakukan semua itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun