Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

UU Cipta Kerja: PKS dan Demokrat Oposisi Ciut Nyali?

7 Oktober 2020   07:57 Diperbarui: 7 Oktober 2020   16:13 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: harianaceh.co.id

Terkadang melihat jalannya negara Indonesia ini semakin hari semakin tidak bergeliat arah ke mana demokrasi.

Rasanya arus bawah dan atas saling terbalik, dimana sinkronisasi antara rakyat dan wakil rakyat tidaklah saling memahami satu sama lain bagaimana seharusnya demokrasi keterwakilan tersebut.

Namun apakah politikus yang duduk mewakili rakyat di sana "Parlemen" sudah tidak menjalankan sebuah amanat dan penderitaan rakyat, yang lantang pernah disampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya?

Memang senyatanya berpolitik seharusnya dari rakyat untuk rakyat, dipilih rakyat untuk membela suara rakyat, itulah adab luhur politik.

Tetapi rasanya semua seperti hilang, parleman rakyat di Senayan, Jakarta seperti halnya musuh-musuh rakyat yang tidak pernah sejalan dengan suara rakyat.

Apakah tidak ada partai politik yang benar secara ideologis membela dan mewakili kepentingan rakayat saat ini?

Lagi-lagi sebuah pembuatan undang-undang adalah ukuran bagaimana rakyat itu perlu dibela oleh para politikus yang kini menjabat sebagai wakil rakyat di DPR.

Maka baru-baru ini tentang undang-undang cipta kerja yang sah dan membuat polemik pelik masyarakat khususnya elemen buruh adalah bukti bahwa tidak ada satu partai politik pun yang membela kepentingan rakyat.

Seharusnya di rancangan UU Cipta Kerja tersebut partai politik yang tidak setuju sudah kritik keras dan tidak setuju bila tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak khusunya kaum buruh.

Mungkinkah dengan persetujuan partai politik mayoritas dalam menyukseskan Undang-undang Cipta Kerja, demokrasi Indonesia sudah lemah?

Di mana keputusan pemerintah dalam membuat UU secara otomatis disetujui DPR termasuk UU Cipta Kerja yang sangat merugikan Rakyat?

Inilah yang terkadang rancu, apakah mungkin partai politik saat ini, di mana ide-ide rakyat banyak yang diserap sebagai aspirasi hanya ilusi?

Tidak gigihnya suara lantang dari partai oposisi di DPR pada Pemerintahan Jokowi membuat partai politik dan politisi yang mewakilinya seperti dagelan dalam setiap pembelaan terhadap hak rakyat salah satunya di UU Omnibus Law Cipta kerja.

Fraksi PKS dan Fraksi partai Demokrat yang menyatakan menolak RUU itu. Memang, sejak Pemerintahan Jokowi mengusulkan RUU itu kedua fraksi paling berisik menyatakan penolakan.

Tetapi lunak saat Golkar sebagai kekuatan utama pendukung RUU Cipta Kerja bermanuver dengan menggelar safari politik ke berbagai kekuatan politik dengan dipimpin Ketua Umum-nya, Airlangga Hartarto.

Tercatat, Golkar menemui Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum Gerindra Prabowo Subianto, dan Presiden PKS Sohibul Iman. Tak ketinggalan, mereka juga menemui para ulama di PP Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Saat pembahasan perundangan di Dewan, PKS dan Demokrat juga tak banyak mengubah RUU Cipta Kerja, apalagi mendesak pencabutan. Yang dimana hal itu tetap tidak mengubah keadaan UU Cipta kerja tetap disahkan.

Apakah oposisi kini tidak mempunyai konsep yang jelas? Ataukah oposisi kini adalah partai-partai yang pragmatis (ciut nyali) dimana kepentingan menjadi alasan utama mereka? 

Ramai ketika UU Cipta kerja tersebut setelah disahkan, bukan saat masih berbentuk RUU? Mungkinkah saat ini sudah berbeda sekali peran partai oposisi dibandingkan dengan saat pemerintahan SBY saat itu berkuasa?

Partai politik dan kepentingan

tribunnews.com
tribunnews.com

Sebagai titik ukuran kini semua memang dapat dilihat bagaimana arah-arah partai politik yang sangat tidak konsisten dalam jalannya roda pemerintahan.

Sebut saja Partai Gerindra yang dulu menentang habis-habisan Pemerintahan Jokowi, kini setelah partai itu masuk dalam pemerintahan membela habis-habisan.

Oleh sebab itu praktik paragmatis dipilih bukan berlandasakan ideologi-ideologi yang dapat dijadikan pembanding, hanya masalah kepentingan partai politik.

Tidak ubahnya partai oposisi saat ini yang tidak ikut turun ke jalan bersama gelombang massa yang menolak. Ada indikasi mereka hanya sibuk bergaya menolak dalam rapat-rapat di parlemen tetapi tumpul dalam hal ideologi menggagalkan wacana RUU Cipta Kerja bersama suara rakyat.

Kenyataannya memang oposisi di DPR bergerak sendiri, publik bergerak sendiri. Mungkinkah keterpecahan seperti ini yang disukai oleh koalisi pemerintah karena itu artinya tekanan pada mereka biasa saja, tidak ada suatu perlawanan ideologi yang berarti?

Seperti diketahui bahwa pengesahan UU Ciptaker kini telah memantik gelombang protes di seantero negeri. Elemen buruh, mahasiswa, dan aktivis berunjuk rasa memprotes aturan yang dinilai merugikan rakyat dan kelas pekerja tersebut.

Mungkinkah dengan oposisi yang saat ini dinilai public sangat-sangat pragmatis dan ciut nyali dalam pertempuran ideologi, bahakan enggannya turun ke jalan bersama gelombang rakyat, tidak akan memperburuk kualitas demokrasi di negri ini khususnya di Pemerintahan Jokowi?

Ramai-ramai di berbagi media social dalam mengabarkan mosi tidak percaya pada DPR serta partai politik dan pemerintah bergema merupakan wujud suara dari rakyat yang kini sudah tidak percaya keterwakilannya di DPR dan pemerintah yang memihak rakyat.

Jika memang ada ketumpulan dari ideologi dan partai politik hanya pragmatis saja. Bukan tidak mungkin aspirasi rakyat kedepan tidak akan pernah di akomodir oleh politikus dan partai politik yang mewakili rakyat atas kebijakan pemerintah.

Maka kembali jika memang tidak adanya dukungan dalam keterwakilan, rakyat sendirilah yang berjuang tanpa suara efektif di parlemen diwakili oleh partai politik, yang memegang kedali suara rakyat di parlemen untuk menggoyang kebijakan pemerintah.

Mungkinkah apa yang diinginkan adalah jalan sendiri-sendiri antara rakyat dan wakilnya sehingga pemerintah akan tanpa beban jika membuat suatu kebijakan?

Dengan fenomena politik yang tiarap dan ciut nyali ini, apakah demokrasi di Indonesia sudah mati? Memang benar mati ditelan partai politik dan politikusnya yang pragmatis, serta pemerintahan yang abai atas suara amanat dan penderitaan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun