Memang jika ditelisik lebih dalam UU Cipta Kerja sama halnya system outsorcing, dimana meski menjadi pegawai langsung dibawah perusahaan pihak pertama.
Besar kemungkinan saya kira perlakuannya akan seperti karyawan perusahaan outsourcing atau perusahaan alih daya sebagai perusahaan pihak kedua.
Tetap dimana nantinya karyawan dapat diproyeksikan kontrak beberapa tahun dan di putus kontraknya sesuai keinginan perusahaan. Ibaratnya keinginan itu sama seperti project perusahaan pihak pertama kepada pihak kedua yakni perusahaan outsorcing.
Maka UU Cipta Kerja memungkinkan tidak ada perusahaan outsorcing, tetapi perusahaan dapat menerapkan karyawannya seperti karyawan outsourcing.
Sebab dari pembaharuan UU cipta kerja yang kontrak kerja sendiri tidak terbatas sangat sulit karyawan kemungkinannya menjadi pegawai tetap perusahaan.
Begitu juga dengan pesangoan yang kecil kemungkinan jika tidak ada pegawai tetap, saya kira perusahaan akan menerapkan kontrak secara berkala. Dimana jika kontrak secara berkala perusahaan dapat tidak terbebani pesangon.
Nantinya disitulah ruang-ruang untuk pegawai dapat pesangon semakin dipersempit kemungkinannya untuk mendapatkan pesangon. Karena pesangon sendiri bagi karyawan sangat menguras kantong kas perusahaan.
Begitu juga kini setelah pengesahkan UU Cipta Kerja tidak ada upah minimum kabupaten dan sebagainya, nantinya dihitung secara global menurut inflasi di daerah masing-masing.
Dimana perusahaan dapat secara flexible menentukan jumlah upah menurut standart perusahaan sendiri bukan upah yang ditetapkan pemerintah.
Berkaca dari pengalaman saya sendiri, Saya memang sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan outsourcing. Pegawai outsorcing menurut saya merupakan pegawai kelas dua yang dibayar dan mendapat fasilitas dibawah kariyawan perusahaan induk outsourcing.
Maka saya berkaca dari fasilitas-fasilitas yang saya dapat dari perusahaan outsourcing yang tidak pernah mengangkat saya sebagai pegawai tetap.