Terkubur dalam bayangan ini, mengapa diri selalu saja berniang kesusahan, apakah diri selalu menjadi alibi untuk dirinya sendiri? Merasa bahwa kesusahan selalu dekat dengan manusia?
Seperti terbius oleh sinar matahari sore. Seakan aku ingin melepaskan beban cinta yang begitu dalam. Untukmu pujaan hatiku.
Teruslah menjadi pelita dalam diriku. Rasanya ingin aku menari sore ini. Meradang diriku yang sedang dalam kegalauan hidup.
Tetapi mengapa tidak cenderung aku buktikan. Narasi cinta yang sebenarnya hanya butuh pembuktian saja, ada apakah gerangan?
Apakah aku ini sudah lusuh tua dan tidak menarik lagi, dimana nasib kini tidak cenderung memilihh diriku saat ini?
Sengaja memang aku membuat kata mendayu-dayu. Karena jika berpikir mimpi mungkin serasa menjadi jauh tanpa arah lagi.
Namun aku tidaklah sendiri dalam upaya menghibur diri. Entah sampai kapan corona akan berhenti.
Berlinang bias, menunggu berkah apa yang akan aku rasakan nanti setelah semua selsai. Aktivitas seperti sediakala tanpa ada lagi virus corona.
Kenayatanya hidup memang tidak semudah itu. Usia tua dalam bayang-bayang dunia kerja sendiri begitu rapuh.
Memang bak sampah yang sudah tidak diperhitunngkan lagi. Pencari kerja di umur 27 tahun, apakah menjadi titik kesulitan itu dalam bayang-bayang narasi hidup?
Heran, aku sunguh heran. Mengapa kini aku tidak punya daya tarik yang kuat saat diriku melamar kerja saat ini.
Apa lagi melamar wanita di kala aku bukanlah seorang pekerja yang mapan dan pengangguran. Nasib memang mungkin hanya untuk diratapi dalam memandang kekurangan diri.
Tetapi nasib dikala virus corona ini menerjang semua adalah wujud kesusahan bagi orang-orang kecil dan terbuang seperti diriku ini.
Dalam orang menunjuk suatu keadaan, siapa memang yang ingin hidup susah. Semua ingin hidup mudah dan bergelimang kebahagiaan.
Lagi-lagi hidup haruslah membiasakan lagi dan lagi, dimana upaya dalam ketekunan yang membuahkan hasil memang benar-benar harus di coba tanpa lelah apapun alasannya.
Bayangkanlah-bayangkanlah, akan aku coba hidup dalam keprihatinan akan nasib yang mendera. Tetapi dalam bayang semu ini aku memanggil.
Berharap "cinta" jika memang butuh di nafkahi terus, sedangkan pekerjaan sendiri aku tidak punya, apakah aku harus mengajak cintaku untuk menikah tanpa tau kepastian ekonominya?
Dalam bayang ini hidup dan keyakinanku mulai merapuh. Ditambah ekonomi yang kini sudah resesi, untuk mencari pekerjaan saja sulit.
Bahkan di usiaku yang semakin tua ini. Ketertarikan dunia kerja kepada yang lebih muda sungguh lebih tinggi dari harapanku.
Tetapi jika memang lapangan pekerjaan sedang banyak, dunia usaha mulai jalan, aku sedikit agak tenang. Suatu saat pasti aku dapat bekerja kembali.
Tetapi saat ekonomi mulai bergerak lagi dalam bayang-bayang kesusahan corona. Konsumsi BBM yang kemarin mulai naik, tanda perekonomian mulai tumbuh.
Harus tumbang dengan adanya PSBB lagi di Jakarta sebagai pusat ekonomi. Rasanya ingin aku kutuk corona yang sedang menerjang dan membuat ekomoni susah semua orang bahkan di pusat ekonomi sendiri jakarta.
Terkesan terkadang dibuat lading bisnis oleh kekuasaan, apakah benar-benar corona mematiakan? Orang sehat dibilang corna, orang sakit corono dan orang mati karena corona?
Mengapa ora sehat dibilang sakit di karantina. Mengapa, adakah sakit tanpa gejala? Inilah yang membingungkan hati dan pikiran ini.
Selalu saja alat tes sweb menjadi ukuran. Kenyatanya orang-orang di desa pun kini sangsi dan jengah pada semua isu corona ini.
Corona yang tidak berhenti-henti keberadaannya membuat frustasi. Maka Seperti terbayang, manusia kalah dengan kekuatannya sendiri.
Manusia  dibayang-bayangi suatu virus yang tidak pasti bernama corona. Seperti apa saja tidak tahu. Mungkinkah penyakit lain dibilang itu corona, sehingga tidak pernah selsai corona tersebut?
Beginilah ungkapan hati dari ungkapan orang-orang frustasi yang sedang menghibur diri. Perkara benar dan perkara salah tulisan ini, aku hanya meluapkan rasa frustasi yang tidak jelas. PSBB lagi, Corona lagi. Â Sudahilah PSBB, Kutuk Corona!
Aku penganguran yang sudah ingin menikah, bekerja lalu membuktikan cintaku pada gebetanku. Rasanya sungguh malu dengan keadaan pengangguran ini. Tetapi akan aku buktikan pada dirinya bahwa aku bukanlah orang yang mudah menyerah. Aku terus tekun dengan karya tulisku sebagai harapanku.
"Seperti impian orang-orang milenial laininya, tidak apa aku tidak bekerja diperusahaan, tidak punya kantor seperti pengangguran, yang penting aku dapat punya penghasilan itulah impian terdekatku. Semoga corona menjadi jalanku di balik frustasiku".
Untukmu mata hati yang selalu ingin membuka, bias-bias kaca yang tersambut oleh kewarasan selalu ingin dibelai. Kamar ini akan aku buat sebagai pancaran hati dan sukma.
Melihat bagaimana kekecewaan pada hari akan aku kutuk. Sudahlah lupakan corona. Karena tidak tahu lagi kapan aku dapat bekerja diperusahaan tempatku dulu bekerja.
Kini aku akan menyongsong hidup dengan rasa frustasiku sendiri. Aku setiap hari harus menulis terus untuk tercapai impianku. Yang penting aku melakukan sesuatu, produktif, dan dapat penghasilan walau sedikit bertanggung jawab pada hidupku.
Tidak lain kita para kreatif ekonomi, meskipun kita kini sedang berdarah-darah tidak tahu juntrungannya tapi semangat optimisme tetap harus muncul walau tulisan hanya untuk mengubur luka saja.
Tetapi tulisan saat ini di era digitalisasi juga mengandung nilai yang tidak dapat ditampik. Karena karya sastra juga seperti hiburan-hiburan lainnya yang dapat menenangkan hati dan pikiran kita.
PSBB, corona, dan ekonomi resesi. Benar memang berdampak pada semua lini. Sebaai ungkapan frustasi. Tidak salah menyudahi PSBB, mengutuk Corona denga hentikan membuat frustasi diri sendiri dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H