Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Godaan Kekuasaan Gibran-Boby, PDIP dan Matinya Kader Partai

8 September 2020   07:28 Diperbarui: 11 September 2020   22:47 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu mengapa ada kaderisasi organisasi karena harapan regenerasi. Dalam partai politik sendiri juga sama. Adanya kaderisiasi untuk agen regenersi, dimana kader potensial didorong menempati pimpinan jabatan politik dimasa yang akan datang.

Di sini semua partai politik melakukan kaderisasi tidak terkecuali. Membentuk calon-calon pemimpin yang kompeten di bidangnya. Guna untuk mengemban pimpinan jabatan politik, termasuk kader PDIP ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

Harapan menjadi seorang kader, tentu dalam kontestasi politik, mereka berharap di calonkan sebagai figure-figur politik seperti anggota dewan, pimpinan daerah, atau pimpinan nasional sekelas mentri dan bahkan presiden.

Tetapi saat ini tidak jarang kaderisasi dilalui dengan instan. Karena demokrasi adalah transaksi bagi calon politikus-politikus pragmatis. Dimana mereka melakukan cara praktis yang penting dirinya maju dalam kontestasi politik baik calon legeslatif, mau pun pimpinan-pimpinan lain dari Bupati, Gubernur, hingga Presiden.

Inilah yang terkadang menjadi akar konflik bila tidak ditengahi dengan solusi sama-sama menang antara kader kawakan dengan kader pesanan dalam suatu partai politik.

Dilema kejadian ini pasti pernah dirasakan oleh semua kader partai politik. Tidak terduganya kompetitior non partai lalu masuk sebagai kader baru. Maju karena faktor kekuasaan dan modal menyingkirkan kader kawakan ikut dalam kontestasi politik, baik pilkada, legeslatif, ataupun pilpres. Kerap terjadi di era demokrasi ini dan sudah menjadi sesuatu yang harus diterima.

Berkaca dari kejadian seperti itu. PDIP dengan segudang pengalaman politik, dimana dinamika tersebut tetap saja dirasakan oleh setiap kader-kadernya sendiri. Tidak kuasa mengikuti keputusan partai ditengarai kekuasaan dan modal. Alasan kaderisasi kawakan bukanlah sebagai alasan.

Jika memang kekuasaan dan uang sah dalam mengalahkan kaderisasi partai yang sudah terbangun. Bukankah dipastikan menjadi keadaan: dimana menyambut kematian kader partai politik saat ini sudah dimulai?

"Karena kenyataannya uang dan akses kekuasaan dapat membeli apapun, termasuk kaderisasi partai yang merangkak langsung mengikuti kontestasi baik pilkada, pileg, dan juga pilpres. Tanpa gemblengan kaderisasi terlebih dahulu dari partai sebagi yang kawakan atau senior".

Gibran Rakabuming di pilkada Solo dan Boby Nasution di pilkada Medan merupakan satu dari banyak kasus mematikan kader kawakan itu. Selain uang dan kekuasaan, mereka juga dekat dengan pemilik sekaligus ketua umun partai PDIP Megawati soekarno putri. Sehingga dapat dengan mudah diberi restu mencalonkan diri sebagai calon yang di ajukan partai tanpa melihat kader sebelumnya yang sama-sama menginginkan untuk di calonkan.

Ditambah Jokowi sebagai orang tua mereka kini juga sedang ada dalam kekuasan politik yang masyur. Joko Widodo adalah seorang presiden yang dipilih rakyat Indonesia dua periode.

Dukungan kekuasaan adalah alasan Gibran Rakabuming maupun Boby Nasution di calonkan. Jika tidak memanfaatkan momentum ikut pilkada ini saat Jokowi masih menjadi presiden, mereka akan rugi besar jika kekuasaan sudah tidak di tangan Jokowi. Memanfaatkan kekuasaan yang ada.

Oleh karena itu Pilkada tahun 2020 menjadi momentum yang dipilih Gibran Rakabuming dan Boby Nasution merangsak menjadi kader PDIP baru dan langsung mengikuti kontestasi politik berkat kekuasaan Jokowi sebagai presiden dan dekatnya keluarga Jokowi dengan Megawati Soekarno Putri.

Meskipun pro kontra terjadi, tetapi kekuasaan dan uang saya kira faktor memuluskan supaya mendapat dukungan dari kader-kader PDIP kawakan, lebih luasnya partai politik yang akan dijadikan kendaraan.

Bukankah PDIP di Solo maupun di Medan sendiri, terjadi ketidak solidan karena faktor Gibran Rakabuming dan Boby Nasution di prioritaskan? Padahal mereka kader baru? Karena alasan anak presiden punya kekuasaan dapat memuluskan jalan ikut pilkada?

Nikmatnya kekuasaan serta jaminan cerahnya masa depan politik keluarga Jokowi adalah kesempatan. Tidak salah jika Gibran Rakabuming dulu yang tidak minat masuk politik akhirnya jatuh juga kedalam politik. Atau dengan Boby Nasution sendiri yang mertuanya adalah presiden, mengapa juga tidak masuk politik? Mumpung ada kesempatan, tidak salah mereka gunakan.

"Tidak ada kekuasaan yang tidak membuat mapan. Kenyataannya dengan fasilitas kuasa tersebut. Merasakan nikmatnya kekuasaan, semua pasti mengundang kecanduan".

Itulah yang mungkin saat ini dirasakan oleh Gibran Rakabuming atau Boby Nasution bawasannya dulu tanpa ada ketertarikan untuk masuk dunia politik. Tetapi nyatanya godaaan fasilitas, kekuasaan, serta kemapanan membuat minat berpolitik mereka tumbuh. Selagi Jokowi masih punya jabatan presiden adalah pilihan.

Jalan pintas Boby Nasution dan Gibran Rakabuming mengalahkan kader PDIP kawakan karena kekuasaan bahkan uang. Telah memberi pelajaran bawasanya berkarir dalam politik sendiri tidak terpaku pada kaderisasi. Mungkin dalam hal ini Gibran dan boby adalah penegas kembalinya matinya peran kaderisasi dalam partai politik.

Karena pada akhirnya siapa-siapa yang dekat dengan kekuasaan dan uang untuk membeli restu partai politik kedepan. Disanalah politik praktis kian menjadi kenyaataan dan kaderisasi hanyalah simbol yang sebenarnya sudah dipatok kematian.

Berpolitik itu harus siap. Siap kecewa dan siap dikecewakan. Itu harus dipegang. Kalau tak pegang itu, jangan masuk partai politik, kata Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo meyakinkan tidak adanya kekecewaan wakilnya "Purnomo" yang sebelumnya digadang-gadang menjadi cawalkot Solo yang pada akhirnya di ganti Gibran Rakabuming.

Mungkin benar apa yang dilakukan kader PAC (Pimpinan Anak Cabang) PDIP Medan yang memilih menyebrang tidak memilih Boby Nasution. Bawasannya kader yang tanpa kejelasan kapan akan dicalonkan lebih baik menyebrang. Mendukung mereka-mereka yang lebih menguntungkan dari pada terus menjadi kader partai tanpa nasib yang jelas serta pastinya keuntungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun