Tentu mengapa ada kaderisasi organisasi karena harapan regenerasi. Dalam partai politik sendiri juga sama. Adanya kaderisiasi untuk agen regenersi, dimana kader potensial didorong menempati pimpinan jabatan politik dimasa yang akan datang.
Di sini semua partai politik melakukan kaderisasi tidak terkecuali. Membentuk calon-calon pemimpin yang kompeten di bidangnya. Guna untuk mengemban pimpinan jabatan politik, termasuk kader PDIP ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Harapan menjadi seorang kader, tentu dalam kontestasi politik, mereka berharap di calonkan sebagai figure-figur politik seperti anggota dewan, pimpinan daerah, atau pimpinan nasional sekelas mentri dan bahkan presiden.
Tetapi saat ini tidak jarang kaderisasi dilalui dengan instan. Karena demokrasi adalah transaksi bagi calon politikus-politikus pragmatis. Dimana mereka melakukan cara praktis yang penting dirinya maju dalam kontestasi politik baik calon legeslatif, mau pun pimpinan-pimpinan lain dari Bupati, Gubernur, hingga Presiden.
Inilah yang terkadang menjadi akar konflik bila tidak ditengahi dengan solusi sama-sama menang antara kader kawakan dengan kader pesanan dalam suatu partai politik.
Dilema kejadian ini pasti pernah dirasakan oleh semua kader partai politik. Tidak terduganya kompetitior non partai lalu masuk sebagai kader baru. Maju karena faktor kekuasaan dan modal menyingkirkan kader kawakan ikut dalam kontestasi politik, baik pilkada, legeslatif, ataupun pilpres. Kerap terjadi di era demokrasi ini dan sudah menjadi sesuatu yang harus diterima.
Berkaca dari kejadian seperti itu. PDIP dengan segudang pengalaman politik, dimana dinamika tersebut tetap saja dirasakan oleh setiap kader-kadernya sendiri. Tidak kuasa mengikuti keputusan partai ditengarai kekuasaan dan modal. Alasan kaderisasi kawakan bukanlah sebagai alasan.
Jika memang kekuasaan dan uang sah dalam mengalahkan kaderisasi partai yang sudah terbangun. Bukankah dipastikan menjadi keadaan: dimana menyambut kematian kader partai politik saat ini sudah dimulai?
"Karena kenyataannya uang dan akses kekuasaan dapat membeli apapun, termasuk kaderisasi partai yang merangkak langsung mengikuti kontestasi baik pilkada, pileg, dan juga pilpres. Tanpa gemblengan kaderisasi terlebih dahulu dari partai sebagi yang kawakan atau senior".
Gibran Rakabuming di pilkada Solo dan Boby Nasution di pilkada Medan merupakan satu dari banyak kasus mematikan kader kawakan itu. Selain uang dan kekuasaan, mereka juga dekat dengan pemilik sekaligus ketua umun partai PDIP Megawati soekarno putri. Sehingga dapat dengan mudah diberi restu mencalonkan diri sebagai calon yang di ajukan partai tanpa melihat kader sebelumnya yang sama-sama menginginkan untuk di calonkan.