Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Medsos, TV Merugi, dan Amien-Puan yang Tak Mungkin Jadi Presiden

5 September 2020   07:09 Diperbarui: 5 September 2020   18:51 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: jpnn.com

Salah satu alasan mengapa survay jajak pendapat sosial saat ini gampang dilakukan adalah kemajuan dari media sosial.

Meski UU penyiaran yang digugat oleh RCTI dan I-News TV minggu lalu menyudutkan media sosial. Tetapi menurut saya bermain media sosial saat ini lebih menarik dari pada menonton TV.

Bagaimana tidak menarik, dari dulu kita menonton Televisi tidak pernah masuk televisi. Berbeda dengan media sosial saat ini baik di Instagram, Youtube, maupun Facebook.

Saat kita mau, kita dapat berperan disana "media sosial". Berbeda dengan televisi tidak bisa menampilkan apa yang mau kita tampilkan jika tidak menjadi artis. 

Seperti ponakan saya yang setiap hari berkreatif membuat video diri joged-joged konyol lalu diedit dikasih suara musik. Entah apa itu namanya, bukan tik-tok, bukan juga like.

Apapun itu, karena terlalu banyak aplikasi saya tidak tahu. Sebab aplikasi yang digunakan oleh keponakan saya hanya populer di kalangan sekolah dasar khusunya anak cewek.

Tetapi dengan seringnya membuat video tersebut, sedikitnya membuat saya bangga. Sebab dapat menjadi hiburan untuk seluruh keluarga saya. Terkadang saya juga dapat dibuat terpingkal-pingkal karena kreatifitasnya.

Tidak lupa terkadang dalam berkreatif itu semisal membuat video, terkadang ponakan saya juga tidak sendiri. Sesekali bersama bapak saya yang sebenarnya gaptek, tetapi takjub dengan kemajuan jaman. Ia sesekali ikut eksis di kamera bersama keponakan saya.

Maka dari itu semakin tertinggalnya media televisi saat ini. Serta potensi keuntungannya yang sedikit ditinggalkan sponsor. Mungkin itu adalah alasan UU penyiaran di gugat ke mahkamah konstitusi oleh RCTI dan I-News TV.

Bukan apa, adakah orang untung meminta keadilan? Bukankah ketika orang mendapat keuntungan ia akan diam saja karena masih ada untung?

Berbeda kalau buntung, semua orang harus tahu dan pasti melakukan segala cara agar tidak bunting terus. Mungkin itulah kenapa RCTI dan I-News melakukan gugatan UU penyiaran. Sebab sudah menipisnya untung bisnis media khususnya MNC Grup.

Di samping memberi kemudahan untuk diri kita eksis, media sosial juga memberikan tempat yang luas se luas-luasnya menyedialan kreativitas untuk kita semua

Yang didalamnya kita dapat berkreatif lalu di tonton orang. Serta dapat menghasilkan uang sebagai pekerjaan dari media sosial. Saya saat ini juga mempunyai opsi profesional kerja selain menjadi teknisi jaringan telkomunikasi menulis di media sosial.

Meskipun tidak banyak reward saya menulis kompasiana sebagai platform citizen journalism dan opini. Tetapi ini adalah harapan yang terjawab dari adanya media sosial. Karena kompasiana juga masuk dalam kategori medsos itu sendiri.

Namun kenyataannya medsos lebih mengakomodir semua dari pada televisi itu benar. Semua orang yang terlibat didalamnya dapat menemukan segalanya termasuk potensi akan bakat itu sendiri.

Mungkin ungkapan bijak dalam bermedsos, saya kira semua menemukan kebijakan dalam bermedos bagi setiap orang. Di medos kita dapat menemukan segala macam hiburan, beropini, dan menuangkan segala kreatifitas yang kita punya.

Tetapi yang perlu diingat dalam bermedsos "mengingat" ini adalah media milik kita sendiri, disanalah segala resiko dari kebijakan kita bermedsos di tanggung sendiri.

Seperti contoh kasus Jerinx yang menyebut IDI (Ikatan Dokter Indonesia) adalah kacung WHO. Sebenarnya itu opini pribadi. Tetapi dimedia social, ia terpublish jauh. Apa lagi jerix yang nota banenya drumer Supermen Is Dead merupakan publik figure.

Inilah kebijakan diri dalam bermedsos, yang diatur dirinya sendiri adalah norma-norma yang harus ditaati pemedsos: "orang-orang yang menggunakan medsos". IDI yang tidak terima dengan ucapan Jerinx akhirnya menempuh jalur hukum membuat Jerinx masuk Bui.

Memang medsos digunakan sebagaimana kita ingin. Positif atau tidaknya adalah masyarakat medsos yang menilai (Netizen). Tetapi keinginan saya, ingin medsos sebagai media saya berkreatifitas, yang kebetulan saya suka menulis.

Selama ini saya menggunakan medsos untuk berbagai pengetahuan. Di kompasiana saya menulis apapun. Tetapi saya sangat berminat di tataran pembahasan Humaniora meskipun tetap menulis topik yang lain tergantung mood menulis.

Di kompasiana di mana media sosial ini bertajug citizen jurnalisem dan opini. Kemenarikan pembacapun sangat segmentaitif. Adalah topik politik tulisan yang menumbuhkan banyak pembaca.

Maka akhir-akhir ini saya aktif menulis politik memeperbaiki viewers saya supaya berbanding lurus dengan perolehan honor K-Reward. Bukan apa, lumayan, tetap produktif dalam bermodsos, dan untuk pekerjaan saya karena dapat menghasilkan uang.

Saya heran di beberapa tulisan saya minggu-minggu ini yang bertemakan politik. Aktif menulis di media sosial karena memungkinakn ada umpan balik disana membuat saya paham, isu apa yang banyak dicari oleh pembaca.

Ternyata pembaca di indonesia khusunya di kompasiana sangat gandrung sekali dengan tema-tema politik. Ditambah dengan isu-isu politik terkini, sudah pasti menjadi bahan pencarian.

Dua hari ini saya menulis politik tentang Amien rais dan Puan Maharani. Ternyata respon di media sosial saat saya share di medos saya di grup-grup politik. Keduanya banyak sekali hatersnya. Pengertian heaters sendiri adalah pembenci.

Dua artikel saya tentang Amien Rais dan Puan Maharani tersebut tembus mendekati 7-ribuan pembaca. Amien Rais masih mending masih ada netizen yang merespon positif. Tetapi Puan Maharani tidak ada sama sekali positif-positifnya.

Ditambah lagi isu yang ia lontarkan pancasila di negri pancasilais menanggapi partainya yang kurang laku di Sumatra barat. Sesuatu yang tidak patut di ucapkan oleh seorang politikus.

Dengan umpan balik netizen membuat saya sebagai penulis sendiri seperti meraba bagaimana minat pada figure-figure politik pembaca tulisan saya.

Saya berpandangan di era demokrasi seperti ini. Di mana pejabat publik dipilih langsung masyarakat. Saat ini khususnya pemilih milenial, sangat mudah ditebak preferensi politiknya. Ke mana arah pilihan itu ditujukan.

Maka ketika saya sebagai penulis menjabarkan secara terang-terangan untuk kedua tokoh politik tersebut antara Amien Rais dan Puan Maharani. Saya kira dengan banyaknya haters tidak mungkin mereka dapat menjadi seorang presiden.

Paling yang pasti memilih kedua tokoh tersebut di pemilihan umum jika maju sebagai presiden, hanya loyalis-loyalis mereka berdua di PDID dan PAN Reformasi yang menjadi pemilih tetap dan pasti, itu pun mungkin saja tetap dapat mbelelo.

Saya menduga antara Amien Rais dan Puaan Maharani paling mentok menjadi ketua MPR (Majelis Permusawaratan Rakyat) itu saja karena faktor mereka punya partai politik. Jika Amien sudah menjadi ketua MPR, mungkin Puan Maharani menyusul besok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun