Kenyataannya dalam memandang hidup, nasib manusia berbanding lurus dengan faktor keturunan itu sesuatu yang tidak dapat ditolak saat ini.
Namun dengan nasib, apakah kelahiran kita sebagai manusia dapat memilih sebelumnya dengan pertimbangan rasional kita saat akan dilahirkan kepada Tuhan sang pencipta alam mayapada ini?
Memang menjadi kata sepakat yang harus disepakati: "Anda anak siapa disanalah Anda dapat menjadi apa" seperti Anda anak politikus: anak Jokowi misalnya. Pasti dengan mudah dapat menjadi calon pejabat public "walikota" sangat mudah dan itu dalam kenyataan sudah terjadi.
Atau dengan anak Sapardi Joko Darmono penyair/sasatrawan kondang Indonesia. Ketika akan menulis buku, Anda pun sudah punya nama bapak sebagai representasi penyair kondang yang sudah banyak penggemar.
Jika pun Anda meminta penerbit mengorbitkan buku karya tulis Anda. Seandainya jika Anda anak Sapardi, pasti akan mendapat tempat untuk menjadi penulis terkenal. Penerbit mayor berharap Anda melanjutkan trah kebintangan Sapardi bagi penggemarnya untuk terus berkarya dalam kepenulisannya walapun Anda hanya anaknya.
Begitu juga dalam kepemimpinan politik. Jika Anda anak Jokowi pasti masih banyak pemilih atau relawan Jokowi memilih anak Jokowi untuk menjadi pejabat publik. Sama seperti partai politik pengusung Jokowi pun sama, berbondong-bondong mendukung anaknya meneruskan trah bapaknya menjadi pejabat public.
Seperti dalam kepemimpinan elit negara sekelas Indonesia pun saat baru berdiri seperti itu. Banyak rakyat waktu itu  mengagumi sosok Soekarno juga "sama". Tidak lebih Soekarnoisme sedikit banyaknya akan mendorong "Megawati Soekarno Putri" atau anak-anak lainnya mengikuti jejaknya.
Inilah fnomena dalam kenyataan itu yang sudah benar-benar terjadi di depan mata, bagaimana daya tarik politik berideologi "Marhenisme" selalu melekat pada partai anaknya Megawati yakni PDIP (Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan).
Oleh karena itu dalam politik sendiri meminjam dan memandang wacana berideologi pada masa orde baru. Tidak boleh anak keturunan yang terlibat G 30 S menjadi pegawai negri, jika masih ada cap merah keturunan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) atau organisasi yang berafiliasi dengannya.
Tentu untuk meminimalisir paham-paham ideologi tersebut jika ia sampai dibawa kepada badan-badan kepegawaian negara. Disinyalir akan menggembosi Ideologi negara yang disepakati seperti Indonesia dengan "Pancasila". Tentu pandangan Pacasila menurut yang berkuasa. Karena pancasila adalah gagasan yang dapat ditafsirkan oleh siapa-siapa yang sedang berkuasa.
Maka menjadi penting faktor keturunan itu pada hidup manusia saat ini. Tidak dipungkiri, kita yang jelata tetap jelata. Tetapi dalam tulisan Saya ini sedang membayangkan Anda, bukan Saya, Saya jelata yang hidup dari lahir sudah tidak dijadikan apa-apa oleh bapak Saya.
Berbeda bukan, ketika Anda seorang anak presiden? Bapak Anda pasti punya keinginan yang sama-- suatu saat dapat mengikuti langkahnya. Begitu juga saat ini anak Jokowi, di bidik untuk menjadi presiden masa depan. Salah? Kata siapa? Tidak salah dong. Yang salah adalah Saya membayangkan Anda bukan langsung Saya membayangkan anak Jokowi saja.
Tetapi tidak apa-apa. Harapan menjadi "humor" banyak orang yang ada disini mungkin seperti itu. Sama halnya menjadi anak Sapardi supaya dapat dengan mudah menjadi penulis terkenal, naskahnya diterima dengan mudah penerbit-penerbit besar. Harapan ini bagi orang-orang yang sering menulis sastra disini sudah pasti bercita-cita menjadi sastrawan.
Bagi yang mungkin sering menulis rubric politik dengan analisa-analisa tajamnya. Saya banyangkan Anda menjadi anak Jokowi bukan tanpa sebab. Mungkin saja kan? Iya mungkin saja, namanya Saya juga menduga, boleh kan? Cita-citanya menjadi presiden atau politikus kondang. Maka dari itu saya bayangkan Anda menjadi Anak Jokowi.
Dalam ranah kenyataan, bukan ranah membayangkan. Tidak semua memang anak akan mengalami nasib yang sama dengan bapak-bapaknya. Tetapi setidaknya nasib akan membawa pada kecerahan hidupnya, jika hidup-hidup bapak kita punya posisi yang lumayan kaya dan dapat ditumpangi nasib kita seperti presiden Jokowi atau sastrawan Sapardi.
Saya dan Anda pasti berandai-andai bukan? Bagi Anda yang paham sekali jalannya peta politik dengan analisa yang mempuni. Pasti sesekali ingin menjadi pelaku politik saat politikus-politikus berkualitas bawah ngomong di acara televisi tanpa dialog yang mencerahkan publik, istilahnya setengah cerdas berbeda dengan Anda.
Juga dengan Anda yang bermimipi menjadi penulis terkenal. Sudah beribu-ribu menulis artikel sastra disini tetapi untuk menerbitkan buku saja masih modal sendiri. Pasti Anda membayangkan kan? Andai saja Anda anak sastrawan masyur? Mendompleng nama bapak untuk menerbitkan karya-karya anda?
Bukan, saya tidak sepenuhnya membayangkan Anda. Jangan tersingung jika Anda tidak begitu jika dibayangkan. Saya hanya merenung sembari menulis, apakah Anda berpikir demikian yang saya tulis? Jika Anda iya, tidak jauh pengandaiyan dan harapan Anda dengan saya sama tau. Hahaahahah. Humor malam! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H