Di mana-mana terdengar suara. Riuh bagiakan suara hati ini yang meradang. Alangkah nistanya sore ini. Aku memanggil diriku yang terlanjur pilu, tertimbun nasib yang bisu.
Oh, syairku yang membelai lirih diriku. Malang nian nasib bawaanmu. Akan aku coba dikau dengan sentuhan suara hati yang tertimbun emas perak itu.
Lirih-lirih menjadi bayangan. Mungkinkah malam nanti, akan aku pandang sosokmu yang menawan lagi? Duhai bayangan imajinasiku, liarlah dalam angan ini membelai hasratku.
Lamunan diri. Karya sastra ini. Melukis panjang langit yang kini sedang mendung. Dalam tatar bahasa, semua adalah sama. Menjadi pengembala untuk dirinya sendiri saja.
Para pengintip nasib. Sialmu memang sudah lengkap. Apa yang dipandang menjadi satu memang sudah tiada lagi. Ungkapan hati yang bersih menyirat kalbu.
Andai aku seorang yang landai dalam mengadu nasib. Aku kira diriku tak akan begini seperti senja yang mendung, "matahari" tertutup awan hitam pekat.
Riuh yang sayup. Dengung yang menggelegar. Rasanya aku ingin menulis sastra saja kali ini. Memberi fiksi dari hidup. Perlahan memaknai hidup. Tulangku adalah nasibku.
Tetapi mungkinkah dengan nasib diri. Selalu dan selalu mempertanyakan diri. Lamunan seperti akan menghapuskan rasa risau ini?mungkinkah  akan aku tancapkan pada nasibku yang berlalu. Suara jiwaku saat ini bergetar hingga menutup kalbu.
Kontemplasi diri. Aku mengkontemplasikan diriku sore ini. Saat terdiam dan berbisik. Sukmaku sedang kembali menulis.
Kembalilah engkau pada pemilik pena ini. Riuhkanlah jiwa-jiwa yang mati. Tentu mati pada kegelapan malam nanti---- yang akan aku sirami diri dengan melamun lagi. Tentang nasib pilu membakar pikiran ini.
Selamnya akan aku intip nasib ini. Nasib dimana kegelapan dari malam yang akan terus aku cari. Duniamu, duniaku, dan dunia kita.
Selamanya akan tetap sama. Mencari bias diri yang selalu bersandar pada nasib. Siapapun manusianya itu, ada lelah dibalik hingar bingarnya kehidupan sinar kebintangan diri.
Tidak ubahnya sebagai gairah. Tidak ada yang dapat dikata sebagai nista. Menyedihkan pasti. Bahkan suara "Jangkrik" kali yang menembus batas itu. Suaranya tanpa lamunan hingga ia dapat berdiri diatas ubun-ubun ini.
Aku ingin berkarya sepertimu. Tulisan yang membangkitkan fiksi menulisku. Menguntit buku Zarathustra karya Fredrich Nietzsce yang indah itu---- bersatunya antara filsafat dan sasatra yang indah aku akui itu. Menggema sebagi suara hati yang terdalam manusia. Melepaskan sisi katarsis bagai seniman lukis disana.
Para penyair malang. Esais yang terjungkal pada judul. Atau dengan penulis-penulis internet yang kini mulai ikut-ikutan.
Tidak lupa penulis buku pemula yang malang nasibnya. Biarlah aku menjadi diriku dengan watak kepenulisanku yang pilu. Memberi asa pada diri melalui identitas yang tidak perlu aku tutupi.
Menulislah engkau---benar engkau yang dapat berbeda dari kebanyakan penulis yang malang itu. karena pada akhirnya, kemalanganlah yang akan menyadarkanmu, bahwa suatu "nasib" tidak akan bisa memeilih siapapun manusianya terkecuali manusia itu yang mencarinya.
Carilah-carilah. Seperti "Semar" dalam tradisi wayang beristilah kata: "mbergegeg, ugeg-ugeg, mel-mel" meskipun hasilnya sedikit kau dapat hidup, langgeng. Gerak-geraklah wahai manusia dalam pusaran nasibnya sendiri.
Terbacanya diri, terbacanya semua bentuk lain dari diri. Tidaklah membuat kau akan paham. Bagimana memahamkan dirimu yang hilang di telan kegelapan siang seperti aku yang terjembab jauh kedalam hayal. Satu nasib manusia yang malang.
Tahukah kalian pada bait-bait tulisan ini? Riuh yang membuat merinding sukma. Beseni adalah kontemplasi. Pada keheningan aku bercumbu dengan nasibku. Yang tidak kunjung "menjadi" yang memuaskan diriku.
Saudara-saudaraku, bagimanakah nasibmu hari ini? Apakah senyatanya--- setelah yang lain pun bernasib sama, kau akan merasa bahwa duniamu tidak sendiri? Saling menjegal dan menertawai nasib yang tiada beda. Disini dibawah musim kemarau yang dilandasi hujan. Duniaku sungguh tidak adil.
Ada musim kemarau diguyur hujan. Ada dingin dibalik kepanasan. Aku seperti ingin berdiam diri atas Gunung selok yang indah itu. sembari aku baca bukuku--- buku favoritku, ilham bagi kepenulisanku, yang telah lama aku lupakan itu. "Zarathustra", dimana kemalangan karyamu setelah 200 tahun lalu?
Ah, aku seperti ingin diam. Menunjukan pada dunia bahwa aku tetap bekerja pada nasib yang selama ini aku terima. Tidak saja seperti sungai yang menuruni gunung, atau burung-burung yang terbang mengikuti arah angin. Saat matanya tenggelam dalam khayal disanalah aku akan berkarya sebagai bentuk dari kerja. Demikianlah kenyataanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H