Di keheningan pagi hari ini aku telah membawa diriku pada kerinduan yang dalam. Hari-hari seorang yang sedang genting melihat hidupnya sendiri. Selalu saja terbentur keinginannya yang tertahan.
Tanpa aktivitas yang ada. Orang-orang sepertinya tidak akan pernah ada bahan cerita. Untuk memulai kehidupannya--- itu sudah jelas. Jika seorang penulis, ia tidak akan dapat melanjutkan sebait tulisannya. Itulah mutlaknya keadaan. Karena apapun keadaan adalah bentuk dari cerita-cerita yang layak untuk dibagikan.
Memang sesuatu yang terbebani akan memunculkan perkara-perkara baru dalam pikiran manusia yang rumit. Tidak untuk digubah. Bahkan naasnya diri dari kata semu, megelegar jauh dalam kegemaan itu dari kejauhan.
Seraya merayu untuk berdamai dengan keheningan pagi. Dimana-mana aku melihat arah kebingungan yang sama dengan orang lain. Sejalan dengan pendapat orang-orang miring itu. Aku memang tidak akan dapat sejalan dengannya.
Entah mengapa aku seperti ingin berteriak penuh sesak. Dimana selalu saja aku tidak bisa menerima apa yang sedang aku rasakan dalam dilema kenyataan. Sebab dengan dilema diri selalu saja menunjuk. Andai aku dapat seperti itu. Mungkin dalam bayangan, aku akan bisa seperti dia.
Sesekali arah memang harus ditunjukan jalannya. Apakah memang betul seseorang tidak akan punya kekurangan sedikitpun? Inilah suatu dilema itu, bawasanya untuk menampilkan, apakah kita harus memperkenalkan diri tanpa kita sadar diri "kita" terlebih dahulu?
Segala sesuatu yang telah mereapuh. Selalu saja beban pikiran itu ada bagi manusia. Karena beban pikiran tidak mungkin akan dapat kita lepaskan sebagai manusia. Sebab selalu saja, ia memulai, apa yang ingin ia mulai untuk mengawali hidup.
Perkara lain memang aku tidak mengerti. Rasanya kali ini aku sedang bingung terhadap rekanku satu itu. Dalam setiap apa yang menjadi wacananya, yang tiada habisnya menjadi perbicangan. Kemana sebenarnya arah dia akan bertujuan?
Mengapa dia yang katanya paham akan agama, paham akan pengetahuan, paham akan moralitas, nyatanya tetap saja. Sama sekali ia tidak paham ilmu rasa, yang harus ia bangun sendiri bersama dengan ketinggian intelektualitas pikirannya.
"Saat manusia akan menjadi sosial. Tidak mungkin akan menjadi "diakui" jikalau apa yang namanya sebuah kerakusan itu menjadi prioritas dalam laku menjadi dirinya. Semangat berhubungan dengan sosial, nyatanya tidak segampang dikenal apa lagi tanpa adanya perbuatan".
Sebab dalam perkenalan sosial. Orang-orang tidak akan melihat seberapa baik dirimu. Seberapa cerdas dirimu. Kemudian seberapa kau ingin diakui itu dengan nama besarmu. Menjadi sosial sangatlah kompleks, ia menyeluruh dari dasar yang kita tidak sadari. Sebagai sebuah penilaiaan yang menetukan manusia.
Seperti aku yang tidak sadar, jikalau hanya nama besar, hanya cerdas, dan hanya baik. Tetap akan kurang dalam memaknai bersosial itu pada kenyataannya. Dalam sosial menuntut ilmu rasa adalah hal yang utama. Supaya ia jernih melihat sikap, dimana dalam bersikap tidak ada yang lebih baik dari "keluwesan" saat bersosial. Bijak dalam menempatkan diri sendiri bersama dengan kapantasan dirinya tersebut.
Yang tersayangkan dari hidup. Mengapa orang-orang hilang dari identitasnya sendiri. Seperti aku yang pemalu, atau merasa diri tidak pantas, dan enggan membanggakan diri. Apakah nyatanya tidak dapat memperkenalkan identitasnya kepada orang lain?
Semua bentuk kediaman menanggapi sesuatu tentang memperkenalkan diri. Senyatanya tidaklah perlu berlebihan. Kenyataannya dalam manusia memandang manusia lain terletak pada wataknya. Tindak-tanduk dalam menjalani hidupnya, itulah senyatanya nilai kita sebagai manusia dihadapan manusia lain dalam bersosial.
Jika apa yang ditawarkan menjalani hidup adalah kerakusan, merasa punya milik, dan merasa ingin yang paling tinggi dari lainnya. Apakah rasa arogansi tidak akan membunuhnya sebagai diri yang sedang bersama orang lain itu?
Rasa yang wajar, hidup untuk kepentingannya sendiri. Tetapi apakah dengan kepentingan itu adalah kepentingan yang memang menjadi haknya sendiri? Bukan tumbuh dan berkembang dari hak-hak orang lain?
"Inilah nyatanya dalam hidup menjalani suatu dinamika bersosial. Tidak segampang semut-semut yang membawa satu butir tempe dalam memikul beban. Kenyatanya asal kalian tahu, dalam bersosial itu buang kepentingan diri sendiri sangat perlu.
Semut-semut tidak berpikir bagaimana pendapatannya, seberapa bagiaannya, dan seberapa ia akan dibuat tinggi nama besarnya. Tentu saat ia bersama dengan rekan-rekannya, untuk tetap memboyong tempe itu sebagai makanan secara bersama".
Tetapi aku pun manusia itu yang di dalam dilematisnya pikiran selalu mempertanyakan. Apakah mungkin setiap bentuk kerja sama, tidak mendapat keuntungan apa pun yang bisa dirasakan oleh diri sendiri terlebih dahulu? Semut pun tau ia harus mendapat bagian untuk sama-sama kenyang dalam bentuk kerja sama.
Ini manusia dengan sikap keserakahan. Jangan pernah di samakan dengan semut yang tanpa pikiran utung rugi dirinya. Yang penting diri kenyang, tidak ingin lebih seperti diri manusia itu. Tetapi semua yang jelas ada kekurangan terselip kelebihan. Ada kelebihan disanalah ia selalu meminta lebih itulah pikiran.
Sayangkan dirimu manusia-manusia tinggi intelektualitas yang hanya untuk membodohi orang lain. Kecerdasamu yang tidak ada gunannya itu. Dalam geraknya hanya mencari sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan inginmu. Bukan kebutuhan dasarmu sebagai wacana hidupmu.
Padahal dalam sikap menjadi bersama itu--- dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat sendiri. Tanpa mengenal rasanya kerja, tidak tahu harapan orang lain, dan maunya mendapat lebih dibanding yang lain, jika seperti itu bersosialmu akan tamat semakin cepat. Hiduplah sendiri ditengah api, yang akan membakarmu didalam kesendirian sosial yang akan menjeratmu nanti.
Kau orang purna yang mencari untung dari sosial, tidak lebih kau hidup pun akan dipandang terus oleh sosial. Tidak peduli seberapa pun alibi baik, cerdas, dan menawan dalam sikap.
"Tetapi tindak tanduk sebagai cap sosial jikalau rakus, rasa ingin memilili, kehendak untuk menguasai tanpa rasa sadar diri. Disanalah karir bersosial manusia akan tenggelam untuk selamanya".
Tidak akan pernah dipandang apik lagi oleh manusia-manusia lain dalam bentuk kerja sama sosial, yang dalam langkahnya cederung ingin memanfaatkan. Maka tak ubahnya jika kau terus seperti tidak pernah menuntut ilmu rasa pada diri.
Dimana kau akan menjadi sosial. Disanalah kau akan tetap menjadi penggelembung untung untuk dirimu sendiri diatas kepentingan sosial.
Semut solid kepentingannya hanya kenyang. Namun manusia memandang hidup bersosial tidak hanya memandang kenyang.
Pagi yang sedang aku renungi: Bersosial-lah kalian dengan rasa--- dengan gagah perwira, perbuatan kerja nyata, dan dengan intelektualitas yang tinggi. Tetapi tidak mengakali untuk kepentingan diri sendiri. Karena bersosial tanpa mengetahui ilmu rasa adalah pincang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H