Sejengkal langkah seperti sudah harus terpikirkan bagaimana langkah itu pada akhirnya harus dilalui oleh diri saya. Pertimbangan memang bukan hanya akan banyak.
Namun bagi seorang manusia yang berpengetahuan, pertimbangan tentang kemungkinan selalu dapat tercabangkan, kira-kira kemana manusia akan melangkah pada akhirnya ketika kekecewaan atas apa yang dilakukan menghadangnya?
Mengadu nasib bukankah seperti bermain dadu yang nilai dan bilangannya sama. Tidak sadar didalam manusia mengharap, saya juga seperti telah menelan berbagai harapan pahit tersebut dari tempat kerja kini.Â
"Menyambut perubahan nasib hidup memang sangatlah sulit, bukan sulit karena tidak mampu, tetapi pertimbangan akan ketakutan merubah nasib itu sendiri yang terkadang menjadi ganjalan manusia untuk menjadi berani".
Terkadang manusia juga harus berpikir bagaimana ketika tidak ada pemasukan akan uang itu dari kerja? Rasanya ada sedikit pemasukan akan uang dari kerja lebih baik dari pada tidak sama sekali. Tetapi apakah manusia akan terus hidup stagnan setiap bulannya tanpa pernah berpikir atau bertindak memperbaikinya?
Tidak untuk munafik, manusia hidup didunia, apakah kita tidak harus berpikir tentang dunia? Terus memeperbaiki kualitas hidup sepertinya menjadi hal yang utama untuk diperjuangkan. Bahkan oleh satu manusia supaya hidup tidak terkatung-katung oleh nasib yang tidak diperjuangkannya sendiri?
Namun menjadi pekerja abad ke-21 bukanlah hal yang mudah, disisi lain kita harus rela waktumu habis disana, kau juga harus rela uangmu habis untuk kebutuhanmu yang tidak seberapa itu. Saat ini gaji sebatas upah minimum bisa untuk beli apa?Â
Untuk bensin dan keperluan makan, belanja sederhana saja sudah kelar tidak tersisa. Apalagi ditambah ketika kau ingin hidup mewah, sungguh itu tidak akan bisa terkecuali hutang sana-sini, gali lobang dan tutup lobang saja setiap hari.
Miris, ini bukanlah suatu kemirisan saja tetapi apa daya ini sebagai hal yang melampaui miris. Nyatanya saling lihat dan melihat antar manusia satu dan lainnya; tetaplah menjadi ajang yang menggoda bagi kita. Mungkin orang yang belum bekerja, akan terlihat lebih indah jika sudah bekerja, tetapi dengan orang yang bekerja disana, kok sama saja kerja rasa tidak kerja?
Karena apa, dalam kerja bukankah yang pertama kali dilihat adalah hasil dari kerja itu sendiri? Inilah yang terkadang ambigu itu? Disana ada orang yang bergaji tinggi, hidup bisa kecukupan dan lebih, apakah setiap manusia tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengubah nasibnya sendiri? Dapat menikmati sesuatu yang mungkin dinikmati pula oleh orang lain disana?
Dalam kediaman ini, suara kipas angin tengah malam dan udara panas kini menerjang, mengapa hari ini tidak hujan saja untuk mendinginkan suasana pikiran dan batin yang bergejolak? Nasib seperti dadu itu dengan bilangan yang sama didalammnya.Â
Mungkin bekerja diabad ke-21 juga ujungnya akan sama, hanya sebatas itu dalam kerja tanpa ada harapan lebih baik menjemput dihari depannya. Pada nyatanya semua uang akan habis, "habis" tidak tersisa memenuhi kebutuhannya sendiri diwaktu yang sama sebagai kariyawan yang sedang bekerja.
Memang sepertinya menjadi manusia, saya  bukan saja dituntut untuk berani menuntut kepada dirinya sendiri. Terkadang ketidakbebasan dengan minim hasil yang ditawarkan dari kerja konvensional terasa lebih menyakitkan daripada harus: istilah "kerja" berkreatif dengan sumber daya yang ada seperti; berjudi pada nasib satu manusia kedepan supaya ada perubahan.Â
Karena pada dasarnya manusia harus bekerja sesuai dengan hobi yang dimiliki supaya dalam bekerja merasa bahagia. Setidaknya jika pundi-pundi rupiah diluar harapannya, kebahagiaan yang dia dapat, melampaui uang itu sendiri sebagai; "sama-sama untuk membayar bahagia".
Mementukan jalan baru bukan suatu pertalian yang harus ditakutkan manusia. Kebebasan sebagai manusia, bukan apa supaya dengan kebebasan itu, manusia dapat menggali semua potensi yang ada didalam dirinya, begitu pula dengan potensi bagaimana saya dapat tekun menulis.
Tentu bukan suatu yang harus di-inferiorkan tentang apa yang manusia bisa lakukan tidak terkecuali diri saya. Karena banyak orang disana juga dapat hidup dari menulis  suatu karya yang dapat menjadikan sebuah karir professionalnya.
Menulis sebagai jalan dan dunia baru bagi saya  untuk menjadi penulis professional. Perkara nanti hidup atau tidak hidup dari menulis, biarkanlah sesuatu itu menjadi kehendak Tuhan.Â
"Seyogyannya menjadi manusia adalah mahluk yang berusaha itu, kepuasaan sudah mencoba, gagal maupun berhasil, mungkin juga dapat dikatakan prestasi oleh manusia, tetapi setiap suatu pengaruh yang besar dilalui dengan jalan tidak menyerah dalam mencoba".
Hidup memang sebuah permainanan, selama manusia hidup, ia akan terus bermain dengan dirinya sendiri untuk kehiduapnnya didunia. Karena semua yang tampak dari dalam diri manusia itu, rasanya; mengapa manusia tidak berpikir hal nyata saja, kerja dapat uang lalu manusia dapat melanjutkan hidup?Â
Namun pertanyaannya; se-sederhanakah manusia dalam bekerja itu? Apakah ia masih bisa merasa bebas? Sudahkan harapan mereka terpenuhi? Dan yang terpenting dengan semua itu, mungkinkah mereka bahagia dalam menjalani bentuk kerja, dalam hal ini, kerja secara konvensional yang masih ada bawahan, atasan, bahkan bos yang seolah ditafsirkan seperti raja?
Setiap pribadi, jika dihadapakan dengan dirinya sendiri adalah; raja bagi dirinya. Tetapi saya seperti ingin kembali pada ketidaksadaran tentang hal yang membuat manusia termotivasi bahkan memiliki rasa bahagia jauh dari realitasnya sendiri kini sebagai apa didunia.
Namun dalam orang membangun diri sendiri sesuai apa yang menjadi passionnya, apa bedanya saya dengan orang-orang yang mengelabui realitasnya untuk membuat kesenangannya? Dalam permainan, manusia akan hidupnya, dengan mimpi-mimpi sempurna saya untuk menjadi seorang penulis, apa bedanya dari sebuah permaianan akan hadirnya pencapaian pada tujuan?
Bukankah hal yang sama terjadi, seperti mereka yang kini sedang gandrung dengan smart phone mereka dengan permaianan ala fiksi pada level-level tertentu, atau pemangkiran hidup pada obyek-obyek lain selain dirinya seperti; mengikatkan hobi mereka pada memelihara burung atau kucing sebagai bagian dari pemangkiran itu.Â
Supaya tidak lain adalah hidup mereka dapat diisi; dimana nanti akan adanya tujuan itu misalnnya; bagaimana kepuasan itu hadir saat kucingnnya semakin besar, cerdas, juga lucu, atau burung-burung mereka yang mendapat sertifikat, dapat dijual tinggi dari harga yang ia beli. Meskipun biaya antara untuk makan setiap hari burung itu jika dikalkulasi dengan laba sama saja. Dan bukankah itu sebagai tujuan itu adalah permianan dibalik nyatanya dari kepuasaannya sendiri sebagai manusia menjalani hidup?
Maka menjadi manusia perfeksionis itu "tidak gila". Karena setiap manusia dengan jalan berpikirnya, semua mendambakan sisi perfeksionismenya sendiri, yang ia sebut sebagai ideal bagi dirinya sendiri. Tetapi masalahnya adalah: kini dengan perfeksionisme itu, apakah manusia tidak menunjukan sesuatu yang berbeda-beda tentang bagaimana ia berpikir untuk sisi perfeksionisme?
Lagi-lagi perbedaan level pemikiran menjadi pembeda, bagaimana manusia mengukur sisi perfeksionismenya tersebut. Itulah sejatinya kapasitas sebagai dirinya diukur, dan jika ia berbeda dari kebanyakan, mereka hanya kreatif, tetapi akhirnya dianggap orang lain mendekati gila, karena kegilaan merupakan kreativitas yang berbeda dari kebanyakan level "kreatife" krumunan orang saat ini.
Bukankah menjadi hal yang biasa disebut; berbeda berarti gila, seperti sama-sama beragama dan percaya Tuhan itu satu yang menciptakan kita semua, tetapi dikafirkan oleh orang lain karena mereka berbeda dengan diri yang lain dan merasa benar karena lebih banyak pengikutnya?
Dan kebebasan manusia disana yang berkreatife secara gila dan berbeda dari kebanyakan orang dalam krumunan adalah orang-orang kini yang ditulis sejarah menjadi creator, dan pemikirannya dipelajari, dikaji, bahkan untuk pelajaran sekolah masa kini. Karena; "mereka adalah manusia yang melampaui jamannya sendiri". Akhirnya mereka hidup abadi sebagai yang diingat, diikuti, dan terus ada namanya sebagai orang yang kreatif dan berbeda melampaui jamannya.
Namun pada akhirnya, setiap orang punya kreatifenya sendiri dan itu jelas berbeda. Maka tidak lebih saya hanya ingin menjadi berbeda dengan kebanyakan orang, supaya setidaknya saya menjadi manusia yang unik dari manusia-manusia lainnya, yang dalam sekali seumur hidupnya saya punya karya yang dibaca orang melalui tulisan saya.Â
Berkarya dan terus berkarya untuk eksistensialisme hidup saya adalah tujuan, supaya saya bukan hanya termotivasi dalam hidup, lebih jauh dari itu, saya akan terkenang dan layak untuk diingat banyak orang. Â Â
Apapun itu nanti, terkenang atau tidak, berkarya dan menikmati karyannya sendiri, secara tidak sadar adalah kebanggan, bahkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri pula. Dalam kehidupan manusia, pada akhirnya hidup memang akan mati, tetapi apa yang ditinggal dari keadaan mati itu?
"Karya yang indah akan terus hidup, seperti manusia yang sudah mati, ketika mereka meninggalkan karya namanya terus akan hidup terkenang abadi oleh dunia".
Dengan berbagai fiksi yang dapat manusia pikirkan. Maka dari itu kehendak-kehendak manusia tidaklah dalam mengarungi kehidupan di abad ke-21 dengan kompleksitas mode-mode dalam kehidupannya merupakan kehendak untuk mengubah nasib itu sendiri. Bawasanya saya yang menghendaki hidup, juga mengendaki nasib yang selalu harus berubah seperti musim yang paten sudah pasti mutlak berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H