Saat hati dan sukma ini mulai meraba
Lirih ditengah pepohonan hijau di sana
Gerangan yang terjadi pada bait senja
Saat ini aku merasa bingung sampai hati
Terdiam di kala aku bangun tidur setiap pagi.
Tentang sebuah nasib diri
Apakah dengan genderang lain tidak tertampak nyatanya saat ini?
Kesibukan pagi seperti telah memudar
Kenyataannya sebuh pekerjaan
Dijalankan pun membuat beban, tetapi sebuah kebutuhan.
Rasanya aku ingin bertanya pada siang
Karyawan di-PHK perusahaan, nasibmu!
Di meja ini aku peganggi kepala ini
Sejenak aku memandangi laptopku yang sudah lusuh
Perasaanku seperti tergerus badai saat angina rebut itu datang.
Siang yang saat ini seperti mencekram
Dilema sang penganggur itu adalah diriku
Irama terik matari yang sudah tidak lagi dapat aku nikmati
Nasib, sampai kapankah ekonomi itu akan pulih kembali?
Diempas angin dibawah kipas listrik ini aku memohon
Padamu Tuhan semesta alam!
Kembalikan aku pada setiap aktivitas kerjaku
Seperti sediakala, saat itu
Bidadari yang akan aku lamar kini menungguku
Tidak mungkin aku sebagai lelaki
Melamar wanita sebagai sang pengangguran itu.
Memang jika saling menerima
Apapun nasib hidup, sudah tidak perlu bertanya
Tetapi ini abad ke-21 yang ada acuannya.
Berlinanglah kemurinian jiwa
Iringi langkahku mengubah nasibku
Meniarilah, hiduplah dengan menari.
Dilema seoraang penganggur!
Nasib cinta janganlah tiada dua
Tunggu aku memperbaiki nasibku, sayangku
Suatu saat aku akan datang untukmu
Memadu kasih kita yang suci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H