Tentu tidak, karena pada saat yang sama semua berkemungkinan untuk tahu sesuai dengan kapasitas duniannya masing-masing.Â
Disitulah orang tidak akan takjub melihat segala pengetahuan kita mengenai dunia mereka. Begitu pun juga saat kita bercerita dunia kita yang tidak diketahui mereka.
Berangkat dari rasa tidak tahu, apakah benar-benar mereka terkesan pada ketidaktahuan itu? Dalam bayang-bayang narasi diri, maka dari itu tidak ada yang "patut" jika kita ingin membanggakan diri pada orang lain.
Sebab senyatanya orang lain tidak akan pernah tahu apa yang menjadi kebanggan diri kita sendiri begitupun dengen kebanggan diri mereka sendiri.
Seperti saya sebagai orang desa yang punya hobi lain dan saat ini mencari rezeki dengan menulis. Mungkikah ketika budaya literasi di desa saya saja tidak bergema sebagain besar dari mereka "warga desa" bekerja sebagai petani, nelayan, dan profesi-profesi lainnya, kita akan nyambung berbicara tulisan dan pemikiran dengan mereka?
Penggambaranya mungkin sama seperti Raden Saleh, pelukis masyur Indonesia yang sudah melanglang buana ke Eropa dengan tradisi hidup yang saat itu berbeda dengan Indoensia "Hindia Belanda".Â
Katanya di Indonesia tidak lebih hanya berbicara gula dan kopi, tidak ada seni, pemikiran, serta hidup-hidup kreatif lainnya dalam menjalani kehidupan.
"Maka saat diri manusia terasing dengan dunia manusia yang lain. Mereka tidak akan betah dalam lingkungan krumunan tersebut ketika ego memaksakan diri sesuai dengan kehendak diri dilingkungan yang berbeda itu".
Raden saleh memang tidak betah di Indonesia, namun apakah dengan keterikatan tanah airnya sendiri dan keluarganya di Indonesia, Raden Saleh dengan serta merta ingin terus melanglang buana ke negri orang sepanjang hidupnya?
Dalam cerita Raden Saleh sang pelukis yang hidup ditengah-tengah buruh tani waktu itu tentu benar dirinya merasa terasing.Â
Tetapi bukankah sikap terasing merupakan sandungan untuk menjalani hidup dapat berbaur dengan orang lain? Disinilah arti penting menginduk diri dengan siapapun.