Suatu jejak pengetahuan tidak ada yang kuno untuk dipelajari. Sebab sejatinya adanya kata "manusia" juga terlahir dari pengetahuan yang secara turun-temurun digunakan sampai saat ini.
Dalam tradisi kebudayaan, setiap penjuru dunia mempunyai identitasnya tersendiri, dimana pengetahuan tersebut berasal dari warisan leluhur yang adiluhung masing-masing. Tidak terkecuali pulau Jawa dengan adat, tradisi, serta nilai-nilai yang panjang dalam kebudayaan masyarakatnya.
Oleh karena itu legenda suatu ketokohan, mistik, serta cerita-cerita rakyat menjadi sesuatu yang akrab dalam sebuah tatanan masyarakat termasuk Jawa. Tidak dipungkiri sampai saat ini faktor-faktor kebudayaan masyarakat Jawa pada masa lampau pun masih lestari dikala masyarakat Jawa itu menginginkan kelestariaannya.
Dekatnya peradaban Jawa dengan mistik, Saya sebagai masyarakat Jawa yang tentu saat ini "hidup", serta terus berkembangnya kehidupan masyarakat di Jawa dengan moderintas, tidak menyurutkan langkah saya untuk tetap mempelajari kebudayaan Jawa secara turun-temurun.
Jawa dan segala bentuk pengetahuannya. Siapa yang ingin mempelajarinya harus mengetahui kebudayaan Jawa dan juga tradisi mistik Jawa; diantaranya suatu bentuk ketokohan, kesaktian, serta gagasan-gagasan dalam bentuk ramalan, tembang, maupun sebuah pitutur menyegarkan jiwa dengan langgam seni yang tinggi di khazanah kebudayaan Jawa.
Meskipun saya sendiri buta pada hal-hal mistik. Tetapi bukan tidak mungkin moderintas yang identik dengan sisi rasional, nantinya ketika terus dipikir dapat diketahui esensi menggali pengetahuan-pengetahuan kebudayaan Jawa yang adiluhung tersebut.
Tentu untuk saya gunakan sebagaimana pengetahuan itu diturunkan: wacana berpengetahuan oleh leluhur Jawa kepada generasi manusia Jawa saat ini dan masa depan.
"Saya percaya bahwa; apapun metode dalam ranah mencari suatu ilmu pengetauan walaupun harus dengan mistik, nyatanya kesemuanya jika dipelajari merupakan pengembangan manusia untuk membuat suatu tatanan kebudayaan baru dalam balutan nilai-nilai kebudayaan yang luhur bagi manusia".
Secara turun-temurun banyak sekali pengetahuan yang sudah diturunkan dari para leluhur Jawa untuk generasinya. Tetapi dalam catatan kecil ini tentang kebudayaan Jawa, saya akan menelaah dengan sedikit pengetahuan saya yang masih belum seberapa dibandingkan yang lain.
Tentang benda-benda pusaka leluhur Jawa yang secara kebudayaan sendiri cara pembuatannya sangat mengandung makna filosofis. Tidak jarang bahkan mempunyai dasar-dasar pengetahuan tertentu untuk menegenali pusaka-pusaka yang telah dibuat oleh para leluhur Jawa sebagai suatu simbol.
Maka dalam lanjutan pembahasan tulisan saya akan menggali sedikit dari banyak pengetahuan kebudayaan Jawa. Salah satu yang saya akan bahas adalah pusaka Trisula Weda "Jayabaya" Raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157.
Pusaka Trisula Wedha
Pada masa zaman kerajaan-kerajaan berjaya di tanah Jawa. Sebuah kerajaan tidak akan dapat lepas dari apa yang dinamakan benda pusaka kerajaan. Dalam tata kesejarahan yang di abadikan melalaui buku, film serta radio dalam serial drama. Penggambaran benda pusaka bagi suatu kerajaan adalah symbol dimana nilai-nilai filosofis berdirinya sebuah kerajaan di visualisasikan melalui benda pusaka tersebut.
Oleh sebab itu raja sebagai pimpinan tertinggi suatu politik kerajaan juga harus memiliki sejumlah pusaka. Tidak lain adalah visualisasi dari symbol etika kepemimpinan, yang pada saat itu dan mungkin saat ini menjadi faktor kepemimpinan politik adalah suatu gambaran dari keterpanjangan tangan Tuhan dalam memperbaiki nasib rakyat. Dimana setiap titah perintah raja didasari dari kearifan dan kebijaksanan seorang raja mengambil suatu keputusan politik.
Raja Jayabaya dan pusaka Trisula Wedha sebagai symbol kebijaksanaan seorang raja tentu memiliki peranan tersendiri dalam ranah politik kerajaan. Memang suatu benda atau bangunan jika dipahami hanya fisik jelas sesuatunya tidak akan bernilai.
Maka sesuatu benda atau bangunan manusia yang diluhurkan harus mempunyai semangat filosofis mendasar dari symbol yang dapat menjadi laku para pemilik mau pun pembuatnya sebagai sesuatu yang luhur mempengaruhi nilai-nilai hidup.Â
Tidak terkecuali symbol pusaka Trisula Wedha sebagai faktor utama filosofi kepemimpinan Raja Jayabaya pada masanya. Pusaka Trisula adalah senjata tajam berujung tiga. Dalam tradisi Hindu kuno, Trisula merupakan senjata Dewa Siwa.
Maka dalam tradisi spiritual Hindu Trisula adalah lambang mata ketiga. Untuk itu dalam wacana Trisula Wedha Raja Jayabaya sebagai bentuk dari symbol kepemimpinan sendiri seorang Raja/Pemimpin haruslah berpengetahuan sebagai mata ketiga melihat nasib rakyat-rakyatnya. Â Â
Filsafat kepemimpinan Trisula WedaÂ
Ditinjau dari pengertian Wedha yang berarti ilmu pengetahuan dan Senjata Trisula merupakan alat untuk perlindungan diri, bekelahi, menyerang dan berperang. Namun di dalam filosofi Trisula Wedha secara mendalam sejata trisula tersebut merupakan sejata untuk memerangi nafsu diri dan mengalahkan nafsu kebinatangan manusia supaya "manusia" menjadi--- manusia berbudi pekerti luhur.
Dalam wancana Raja Jayabaya--- Trisula Wedha merupakan senjata dari watak kepemimpinan satria piningit. Gambaran masyarakat Jawa atau Nusantara secara lebih luasnya. Satria Piningit merupakan representasi kepemimpinan yang adil, jujur, serta bijaksana, yang akan menyelamatkan Negara dari keterpurukan pemimpin yang buruk.
Maka dari itu ditinjau dari fisik senjata Trisula dengan tiga ujung tajam yang ada merupakan sumber dari kekuatannya. Ketiga ujung tersebut yang paling tinggi adalah simbol pengetahuan. Menyusul dibawahnya yakni perbuatan/kerja dan attitude/prilaku bagi manusia yang mempunyai jiwa kepemimpinan.
Pengetahuan (Jnana): Jalan pengetahuan atau Jnana dalam hal ini adalah manusia mampu atau tidak membuat dirinya menjadi terdidik. Dimana kebenaran atau kesadaran manusia adalah dimulai dari pengetahuannya sendiri. Karenanya ketika manusia berpengetahuan disanalah ia akan mengetahui solusi dari masalah hidupnya sendiri dan masyarakat yang ada disekitarnya.
Perbuatan (Karma): Kerja, kurang lebih artinya adalah praktek atau karya yang dapat diperbuat oleh dirinya menjadi sesuatu yang bermanfaat pada kehidupan bukan hanya omongan dan teori. Maka jika ingin menjadi manusia luhur, berjalanlah dengan perbuatan yang nyata bagi diri sendiri terlebih dahulu, yang jika memang diri sendiri sudah mampu berbuat untuk kehidupannya, bukan tidak mungkin ia akan dapat berbuat untuk masyarakat banyak.
Prilaku (raja): Disebut juga etitude yakni mencakup segala bentuk prilaku, etika berbahasa, tingkah laku, tata karma dan lain sebagainya. Karenanya sebagai manusia kebiakannya, pengetahuannya, serta sikap kedewasaan merupakan cermin nyata dari sebuah etitude manusia yang berbudi luhur.
Dengan filsafat kepemimpinan Trisula Wedha yang di wacanakan Raja Jayabaya sendiri memang tidak mudah mengaplikasikannya dalam menjadi manusia berwatak pemimpin. Tetapi bukan berarti tidak ada manusia yang dapat mempunyai sikap keluhuran tersebut yang digambarkan Trisula Wedha sebagai pemimpin masyarakat.
Maka dari itu dengan faktor kepemimpinan Negara, selalu saja harapan keadilan muncul. Serta harapan jauhnya pemerintahan Negara dari segala bentuk kebobrokan. Sedari dulu masyarakat nusantara "Jawa" secara kebudayaan selalu menantikan hadirnya satria piningit representasi dari raja yang adil dan bijaksana sebagai pemimpin mereka yang akan memperbaiki kehidupan manusia.
Tidak lain adanya falsafah yang diwacanakan Raja Jayabaya tentang "Trisula Wedha" yang dalam pengetahuan senyatanya adalah filosofi "kepemimpinan" tersebut bukanlah suatu ramalan tetapi wacana pengetahuan.Â
Menurut saya "Trisula Wedha" merupakan sisi pengetahuan yang didalamnya dicampuri dengan symbol, mistik, serta tradisi yang membudaya masyarakat Jawa secara turun temurun menjadi suatu keyakinan kolektif masyarakat Jawa..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H