Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kehidupan Sudah Busuk, Tetap Busuk

8 Agustus 2020   15:22 Diperbarui: 11 Agustus 2020   10:12 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.cpm

"Memandang hidup: manusia memang harus menyelsaikan masalah pribadinya sendiri. Supaya ia tahu, dan ia belajar, bahwa suatu titik dari penyelsaian itu, asalnya untuk menyelamatkan dirinya sendiri--- hidup tidak untuk bergantung dan menggantungkan dirinya kepada orang lain".

Riuh dalam jiwa seperti reuntuhan rumput-rumput ilalang itu. Bagimana mereka tahu dan persetan apa yang merasuki diri mereka?

Terlihat dalam poster berbentuk gambar, teapi gambar memang gambar, tetapi siapakah yang menciptakan gambar itu?

Bukan saja sebagai hidup dan mati dirinya tetapi kehendaknya adalah ceriman nyata dari beban-beban kehidupan, santun, dan dingin hanyalah organ yang membusuk, bagai biola yang tak berdawai meminjam penyair dari negri antah-brantah di sana.

Pagi memanggil lagi, gurauan-guaruan baru sebagai lelucon, apakah menjadi manusia harus supel dan menebar banyak senyum kepada orang lain?

Toh, gambaran yang tidak jelas dalam bingkai menjadi manusia, senyum yang terkadang sinis--kesinisan juga terkadang menjadi senyuman para manusia iri hati hati disana memuaskan apa yang menjadi kehendakmya.

Tetapi apakah aku harus iri, ataupun harus menunjukan diri sebagaimana rasa ketertarikan itu ada? Bongkahan emas rasanya akan menjadi barang paling hina, ia tidak terpatri bahkan berhina-hinalah agar tidak ada yang menyukaimu.

Ketika orang menyukaimu karena dirimu itu asli, tanpa dibuat sebagaimana kehendak akan "dapat" dan "congkak" mendapatkan menjadi kebanggaan diri manusia nanti.

Sastra-sastra itu berkumandang, bahkan kajian-kajian dari sisi psikologis manusia. Apa yang diharapkan manusia dari rasa iri hatinya sendiri?

Atau dengan pujangga-pujangga keramaain di sana, menjadi omong kosong tanpa isi. Terbelai tanpa sukarela, ia tetap dan menetap menjadi rasa bangga. Apa yang membuat bangga dirinya dengan apa yang bisa diperbuatnya termasuk melihat orang lain akan menjadi kebanggaan dan kesakitan terhadap dirinya sendiri.

Karena itu aku ingin tunjukan pada kalian bagimana-bagaimana kehendak busuk itu terjadi. Kehidupan sudah busuk, ia tetap akan menjadi busuk.

Apakah kita tidak bisa menikmati kebusukan-kebusukan ini dengan nada serius? Mungkinkah para pengkotbah-pengkotbah itu sudah dalam merasuki diri kalian?

Gunung itu terlihat sangat berkabut, bagiakan manusia-manusia lembut itu ingin bicara, dan carilah apa yang menjadi pencarian hidupmu.

Baling-baling dari bambu mengiasi sawah, ia tidak lari, hanya saja ia terus bergerak walau ruang geraknya sendiri tetap ditempat yang sama.

Kalian-kalian manusia yang terpengaruh, rayuan bebal para dengki, para iri dan para manusia-manusia ganjil di sana, apakah kalian ingin bersekutu dengannya?

Urakan dan menjadi urakan, sepatu yang mulai usang merengek untuk diganti, namun pergantian selalu saja ada yang akan dikorbankan. Karet-karet kabahagiaan yang melekat tetapi terlalu sulit lekat itu dilepas, bagaikan rel kereta yang tetap menjadi jalur yang sama.

Apakah kalian-kalian manusia yang gila akan kebahagiaan? Gila akan kehendak besar sebagai tujuan hidup?

Dan gila akan sesuatu yang harus menjadi milik kalian? Sudahkan jangan pernah tergila-gila pada kehidupan yang busuk ini. Kalian para manusia-manusia terdegradasi, aku ingin menyambut kalian dengan karya-karya. Bawasanya hidup hanya dijalani tanpa konsep, berdasar apa kehendak struktural yang ada didalam organisasinya sendiri.

Gejolak, seperti tertahan, dalam lamunan ini, aku ajarkan kepadamu, keheningan ini melaju bagai api yang tersiram air. Kehedak untuk mencacati, mengapa ketersinggungan itu menjadi bingkai dalam setiap kehidupan ini?

Lambaian tangan untuk tetap mengarah, melaju, bahkan menjadi tanpa jejak untuk terketahui suatu saat nanti. Sepertinya ilalang itu akan terus menghijau bagai endapan air yang menciptakan genangan ketika musim hujan datang.

Sengaja dengan sengaja aku ini berkata-kata pada gerangan setiap sore hari tiba. Kebun-kebunku bawalah aku dalam duniamu kali ini. Kadang kala aku pun muak dengan semua ini--muak dengan segala gejolak batin yang ada, mengapa? Apakah manusia diciptakan untuk menggejolaki dirinya dengan pikirannya sendiri?

Hijaunya padi di belakang rumah tua itu, matahari yang sebentar lagi akan tenggelam, tetapi panas yang tidak berkesudahan. Apakah dunia sebentar lagi akan berhenti?

Berdetak bagai awan yang semakin pekat dan menghitam disana, lamunan yang terhajar "siang", ada dimana kita saat ini. Apakah sudah menjadi penghuni-penghuni jahanam yang nyata?

Suara burung, tidak lebih aku mengingat bagaiamana diriku yang payah, yang berharap lebih, tetapi justru mengkerdilkan segala sesuatunya.

Dalam bayang ini, bisakah aku tahan terus diriku dari kehendak alamiahku sebagai manusia? Tergambar dalam bayang ini, untaian lagi yang terus mengilhami, mungkinkah kekosongan akan menjadi kosong pada akhirnya?

Tak ubahnya, diriku yang sinting, apakah kalian juga merasa ada suatu kelainan pada "kesintingan" itu di dalam diri manusia? Oh, apakah aku kini telah menjadi jiwa-jiwa yang anti pada sosial? Ataukah, aku hanya orang yang butuh menyendiri sejenak lari dari riwehnya keadaan sosial?

Tetapi bagaiamana, mungkinkah manusia-manusia itu hidup juga mengikuti langkah kakinya sendiri? Sembari berharap bertemu dipersimpangan dalam perjalanannya?

Kabur, manusia hanya kekaburan yang eksis sebagai manusia, tatapi mengapa ada manusia? Belalang itu seperti jawaban, manusia memang mengada sebagai manusia disaat hidupnya tidak sendiri.

Namun kebersamaan seperti pertalian yang mengancam, dapat pula ia menyelamatkan, tetapi bagimanakah ia para manusia yang menganggap dirinya telah gagal? Dan apakah kegagalan itu tidak akan pernah dapat dibaca sebagai yang menyelamatkan?

Bunga indah disana seperti hanya garauan untuk tetap ingin disinggahi, air melaju bagai bah saat hujan dengan intensitas tinggi datang.

Haruskah manusia diam didalam memandang dunianya sendiri? Laut itu tetap membiru, tetapi sebiru-birunya laut, meruapak titik dari bagimana ia akan berarti untuk semestanya.

Dalam berkarya apakah ke iri-an hati akan menjemput nanti? Ataukah dengan ungkapan-ungkapan bising di sana, mungkinkah hanya ungkapan para munafik yang bisanya mencela? Hijaunya pohon jagung, juga pohon bambu di sana.

Saat berkarya, kau tidak sedang membangun dirimu dengan kebisingan, bukan juga dengan kebisuan. Mereka memang belum tentu terkesan dengan caramu berkarya.

Tetapi dengan warisan yang akan kau wariskan pada keturunanmu sendiri, itulah segala jenis kebahagiaan, sampai dengan kau bahagia menemukan kebahagiaanmu dari karya-karya dirimu. Untuk itu leburlah diri untuk selalu berkarya dengan segenap kehendak kabaikanmu itu. Kehidupan memang busuk, tetap akan mejadi busuk. Tetapi dengan karya, ia akan selalu terkenang meskipun didalam ruang kebusukan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun