"Dalam wacana berpikir bapak saya, mengapa panen padi masih dilakukan secara manual dengan mesin manual dan tenaga manusia adalah pertimbangan untuk sama-sama merasakan yang tidak punya garapan sawah agar dapat hasil padi asalkan sama-sama mau bekerja dan diajak kerja sama"
Belum lagi dengan unsur kemanusian pembagian hasil yang sudah baku secara tradisi hasil panen selalu ditambah oleh bapak saya sebagai apresiasi biasanya lima kilo padi kepada buruh tani.
Oleh sebab itu jika buruh tani semakin tidak terima dengan pembagian hasil yang ada serta memaklumi fasilitas-fasiltas yang diberikan oleh penggarap lahan atau pemilik lahan, disitulah peluang terbesar keberadaan buruh tani semakin tenggelam saat ini.
Dengan pertimbangan baik petani penggarap sistem sewa lahan ataupun pemilik lahan yang tidak dibebankan biaya sewa.Â
Jika memang biaya oprasional mempet dan sedikit hasilnya bukan tidak mungkin jika buruh tani menunut lebih dengan fasilitas-fasilitas lain, yang harus dipenuhi seperti tambahan hasil padi upah jasa tenaga memanen padi atau fasilitas lain makanan dan minuman yang memaksa mengembosi biaya oprasinonal petani; di situlah peran manusia akan diganti dengan mesin otomatis yang canggih dan efisien.
Saat ini ketika buruh tani tidak mau toleransi atas hasil panen dan semakin menuntut petani penggarap lahan atau mempunyai lahan, saat itulah buruh tani dengan tenaga manual dalam arti: kerja manusia dengan masa yang banyak berangsur-anggur terpinggirkan oleh tekonologi mesin yang canggih dan efisien. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H