Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat dan Kebahagiaan Hidup

14 Juli 2020   21:24 Diperbarui: 28 Juli 2020   20:40 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Pixabay.com

Berbicara tentang kebahagiaan sepertinya ia nyata dan tercermin ketika manusia sedang berada dalam perenungan waktunya. Memang berkaca kepada kata yang "berbahagia", bukanlah sesuatu yang sederhana, terkadang ketika sesuatu belum pernah dirasakan dan dialami oleh manusia, "suatu" titik itu tidaklah akan membuahkan kebahagiakan bagi hidup manusia.

"Kebahagiaan yang sejati merupakan suatu keadaan, baik perjalanan atau pencapaian yang sudah dilalaui. Tentang karya, pengalaman perjalanan hidup, dan pencapaian-pencapaian yang sudah dapat manusia capai diwaktu kehidupaanya itulah sumber nyata kebahagiaaan bagi manusia yang mencarinya".

Karena sesuatu yang belum terwujud didalam kehidupan manusia, ia tidak akan pernah menjadi kebahagiaan--- bahagia adalah mampu mewujudkan ide kehidupan dan setiap jawaban dari renunganya: "sumber dari rasa bahagia sebagai manusia" 

Memang menjadi ilusi besar disana tentang orang-orang yang menganggap bahwa; bahagia disempitkan dengan romansa akan cinta dalam arti sempit yakni; berasmara antara dua sujoli pria dan wanita. Tetapi apakah benar cinta bagi sujoli yang berasmara akan membahagiakan secara terus menurus?

Tentu ini bukanlah pertanyaan yang secara pasti dapat dikatakan "iya". Karena banyak cerita disana orang-orang yang katanya menderita juga karena cinta, maka sering kali menjadi judul film-film romatik menjual penderitaan cinta itu sendiri.

Mengapa mereka menderita? Karena cinta sedikit agak rancu bagi saya? Mungkinkah betul cinta yang belum termanifestasi oleh dirinya benar-benar juga akan membuahkan penderitaan? Sesuatu itu, memang yang tersisa hanyalah sebuah pertanyaan, terlebih saya sendiri belum pernah merasakan membangun cinta tersebut bersama dengan wanita, apakah mungkin manusia dapat menderita karena cinta?

Tulisan karya Nietzche "Zarathustra" sendiri mengatakan dalam tulisannya: "menjelang pagi tiba, "Zarathustra" tertawa kepada hatinya dan berkata ironis, "kebahagiaan mengejarku, itu karena aku tidak mengejar-ngejar wanita. Padahal kebahagiaan adalah seorang wanita".

Saya berpikir memang ini paradoks dari kontradiksi hidup itu. Manusia dapat menjadi dirinya dan mengenali segala potensi hidupnya itu karena ia menjadi sendiri dan membangun apa yang ingin ia bangun tanpa fiksi dari bahagia yang banyak orang sandarkan kepada wanita.

Tetapi apapun itu seorang pria memang butuh wanita, karena tanpa wanita didalam hidup pria, bukan saja akan hambar, tetapi akan ada ruang kosong yang hampa, manusia ini, mau jadi apa tanpa wanita?

Bahkan dalam segala bentuk kelahiran mereka, bukankah ia "manusia" lahir juga dari rahim wanita? Maka mau menjadi apa manusia tanpa wanita? Perkara menjadi bahagia, bukankah kebahagiaan dari pencapaian itu karya yang telah dibuat dan diapresiasi? Mungkinkah sesuatu itu bukan bentuk suatu kebahagiaan manusia? Sepertinya memang benar, kata bahagia  tidak dapat terukur, tidak dapat pula saling  mengukurkan diri bagaimana secara "pasti" berbahagia itu bagi manusia.

Bahagia bagi saya mungkin adalah proses---- proses dari memaksimalkan potensi dirinya sendiri, yang manusia bangga akan apa yang telah dicapainya untuk setiap "sesuatu" yang telah diperjuangkan dengan keringatnya sendiri.

Namun apakah cinta dan wanita merupakan suatu titik pencapaian itu bagi pria, yang harus mutlak dikejar dan dijadikan sebuah prestasi hidup sebagai manusia? Tentu cinta dan wanita bukalah pencapaian bagi manusia yang berbentuk sejatinya pria---- saya menyadari itu.

Selama ini orang-orang hanya salah memaknai cinta dan wanita, yang dianggapnya merupakan suatu pencapain dirinya. Maka yakinlah bahwa persepsi itu merupakan hal yang sangat salah, karena ketika cinta dan wanita dimaknai sebagai pencapaian, mereka akan tertantang untuk mencapai sesuatu yang lebih dari cinta dan wanita itu sebagai bentuk kepuasan, dan akan terus meninggikan kulitas dari cinta dan wanita itu didalam waktu kehidupan mereka.

"Oleh karenanya "pria" akan selalu ingin mencapai yang lebih dalam dan tinggi dari pengalaman cinta mereka dengan wanita-wanita, yang mungkin menjadi tantangan untuk dapat dicapai itu---- sebagai pemenuhan-pemenuhan akan pencapaiaanya sendiri "menjadi" pria dimasa depan yang selalu tertantang pada kualitas cinta dan wanita didalam hidupnya untuk terus berganti-ganti".

Sebab cinta dan wanita sesungguhnya bukanlah suatu ukuran. Mereka tidak pernah menyentuh sebuah pencapaian, tetapi ada pada kebutuhan hidup manusia---- yang ia "manusia" memang butuh teman. Sebab ujung dari cinta dan wanita hanyalah pertemanan. 

Orang menikah untuk berteman, orang mempunyai anak juga sama: untuk teman hidup mereka. Maka apapun bentuk hidup manusia merupakan sebuah pertemanan, yang mereka akan terus menjadi teman dalam mengarungi kehidupan.

Jadi dengan berbagai ukuran kebahagiaan manusia, apakah mungkin "bahagia" tersebut jika manusia ingin berbahagaia harus di sandarkan pada faktor pertemanannya sendiri? Bukanakah manusia itu hidup membawa dirinya sendiri--- dalam hidup pula membangun dirinya sendiri pada akhirnya?

Kedirian sebagai ungkapan dari kebahagiaan merupakan tonggak manusia untuk hidup sebagai sebuah keutamaan dirinya--- makhluk hidup yang ingin berbahagia.

Tanpa mencapai, tanpa merasakan, dan tanpa menjadi kebanggaan akan dirinya sendiri dalam ukuran diri tersebut adalah bentuk manusia-manusia yang tidak bahagia. Dalam menjadi bahagia, haruslah ada sesuatu yang ditonjolkan sebagai sebuah kelebihan, dan saya seperti telah menemukan kebahagiaannya dalam berkarya tulis itu sendiri.

Meskipun kekecewaan dari lemahnya apresiasi terhadap profesionalisme sebagai penulis itu terhadap diri saya, mungkin dalam manusia berkarya seni, tidak apa jika memang tulisan-tulisan yang diciptakan saya tidak laku. Pada intinya dari penghasilan lain seperti bekerja diperusahaan atu bertani mungkin saya dapat hidup.

Berseni sepertinya tidak harus sama dengan para seniman disana yang karyanya lukisnya bisa laku ber-milyar-milyar dalam menjual karyanya. Tetapi kepuasan dalam berkaya itu seperti kebahagiaan yang tidak terkira ukurannya bagi siapapun termasuk penulis atau seniman yang belum dihargai karyanya.

"Dari seni menemukan jati diri" itulah gambaran dari nilai seorang seniman jika dia memang tidak dapat dibayar secara professional". Bergelimang uang dari karya memang perlu karena setiap akomodasi berkarya atau menjalani kehidupan itu sendiri semua butuh uang untuk membeli.

Tetapi dengan saya yang saat ini belum menyentuh profesionalisme sebagai penulis, menemukan dirinya sendiri harus lebih disyukuri lagi melebihi kata "profesinal" yang harus saya sandang menjadi penulis lepas ini.

Tulislah untuk menjadi sesuatu  dan sesuatu itu harus mengantarkan manusia dalam menjadi manusia yang sesungguhnya. Saya memang sadar, Saya harus terus berkarya apapun alasannya. Karena rasa bahagia dari meyelsaikan karya itu sendiri merupakan tinjuan paling dasar dari manusia menatap dirinya juga layak dijadikan manusia.

Tampilan karya pertamanya buku saya "Interpretasi aku", yang bentuknya se-gede buku gambar, namun setelah dipikir kembali tentang sebuah buku itu. Sebuah buku memang yang dibaca adalah isi dari buku itu, perkara tampilannya, jika memang bukunya layak dibaca, apa artinya sebuah sampul dan bentuk bukanya sendiri? Ia tetap menjadi karya tulis yang tetap bernilai.

Tetapi menapaki jalan keberhasilan itu tidak mudah. Sebab manusia harus benar-benar tekun, dibalik itu juga harus benar-benar tanpa putus asa menjalaninya---- mengharap suatu saat jika karyanya memang layak dikenal didunia, saya yakin akan menjadi penulis kelas dunia.

Supaya bukan saja saya dapat lebel professional dalam karir kepenulisaannya saya, tetapi menjadi pribadi yang paling bahagia, dan paling menjadi manusia karena bentuk dari usaha-usahanya yang saya bangun sendiri menjadi manusia itu--- dengan cara berkarya dengan menulis.

Namun menjadi seni di Indonesia sendiri, memang tidak mudah  dihargai, terlebih apa yang ditulis sendiri, saya bukanalah seorang penulis yang setara dengan penulis-penulis sekaliber "Eka Kurniawan" misalnya atau novelis supernova "Dewi lestari" yang sudah punya nama sebelumnya--- karya-karya dari dirinya sudah ditunggu oleh penggemarnya bahkan sebelum ia menulisnya.

Saya sendiri, saya bukan tidak ingin menjadi penulis yang terkenal, tetapi menjadi penulis terkenal sendiri butuh waktu, juga perlu dimana karyanya sendiri memang layak diterima oleh masyarakat. 

Tentang tulisan saya, itu bukanlah tulisan yang banyak diminati orang-orang Indonesia seperti tulisan bagaimana harus menjadi sukses, beriman dan beragama secara benar, juga bukan kisah-kisah roman cinta seperti Romeo dan Juliet.

Maka tulisan yang cenderung filosofis yang ditulis saya sungguh begitu berat dan asing bagi kebanyakan orang di Indonesia. Tetapi menjadi penulis, bukan hanya mengikuti dimana pasar itu berpijak, namun, menulis bagi seorang penulis yang orisinil adalah menulis apa yang menjadi gerak hatinya sendiri untuk ditulis dan layak ditulis sebagai ritus kebahagiaan dirinya--- bahagia sudah membagikan apa yang perlu diceritakan dengan menulis kepada orang lain.

Inilah tentang bagimana cerita itu dimulai, penulis pemula tanpa ada sesuatu topangan untuk kebutuhan hidup sehari-harinya tidak akan mungkin bisa untuk terus menulis dan mendapatkan uang sebagai penebus kebutuhan hidupnya. Penulis pemula dengan karya yang harus dibuktikan terlebih dahulu memang tidak mudah, terkadaang dalam mutu sendiri, ia masih dipertanyakan bagaimana kelayakannya.

Tetapi menjadi penulis yang professional dan kaya jelas tidak mudah. Bukan hanya butuh proses tetapi butuh juga dalam melatih dirinya bahwa; penulis terlihat seperti profesi mentereng tetapi bukan profesi yang mudah dijalani. Bahkan ketika manusia berniat menjadi penulis sendiri harus menanggalkan apa yang namanya kaya. 

Namun yang harus menjadi acuan sebagai penulis adalah karya, karena karya itulah yang akan menjadikan saya sebagai seorang penulis bahagia. Saya merasa sangat bahagia sebagai penulis ketika menulis tema filsafat, dibalik itu saya juga seorang yang menulis apapun tidak hanya filsafat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun