"Langkahku semakin lelah berjalan menyusuri. Mondar-mondir ditengah keramaian kota. Hati yang bingung lamaran kerja di tolak. Enggak tahu kenapa mungkin  kurang syaratnya. Andai saja aku punya harta yang melimpah. Aku tak kan terhina. Pikir-pikir dari pada ku melamar kerja lebih baik aku melamar kamu!"
Saya teringat beck sound lagu sinetron dulu, kala ketika sinetron Gengsi Gede-Gedan menjadi tayangan menarik sinetron pilihan waktu itu. Usia saya memang saat itu sekitar tahun 2000-an terbilang masih bau kencur, bahakan belum duduk di bangku SMP masih SD. Namun tayangan Televisi berlebel sinetron, yang saya rasa sebagai hiburan terbaik tidak ada pilihan lain.
Tetapi saat itu masih sangat sedikit referensi pilihan tayangan sinetron yang ada, dimana pada intinya sinetron lain masih berkutat pada warisan dan harta kekayaan. Channel Televisi saja belum seperti sekarang. Di desa masih hitungan jari, itupun belum semua gambar channel televisi sudah bagus. Masih banyak kata orang desa semut yang ada di televisi, menggambarkan sinyal televisi yang masih kurang bagus.
Karena bagi orang desa seperti saya, sinetron seperti tontonan wajib membunuh waktu dikala setelah magrib tiba untuk bercengkrama juga dengan keluarga. Bahkan budaya menonton sinetron tersebut, masih digunakan masyarakat desa seperti desa saya, yang masih menggandrungi sinetron, termasuk sebagai aktivitas membunuh waktu ketika setelah magrib tiba.
Keponakan-keponakan saya-pun sama, menonton sinetron lagi seperti saya dahulu untuk membunuh waktunya menjelang kantuk tiba. Mungkin kuatnya minat pada sinetron saat ini disebabkan karena sinyal internet didaerah saya masih minim. Buat browsing internet saja susah sekali jikalau didalam rumah. Saya saja kadang merasa kesal. Mengapa lamban sekali insfrastrukture Telekomunikasi masuk ke desa kami. Terasa jika keluar desa, ketimpangan sinyal intenet menjadi ganjalan suara hati. Diabad 21 ini yang katanya jaman digital masih ada saja ketimpangan sinyal.
Padahal desa di pinggiran Kabupaten Cilacap ini banyak warganya sekitar 5000-an. Sedangkan ponakan saya yang berjumah dua  orang saja sudah pegang smart phone satu-satu. Belum orang tua mereka. Saya kira kebutuhan layanan internet di desa saya juga tinggi, meskipun sinyal kurang dan susah digunakan ketika didalam rumah. Abad ke 21 jamanya sudah digital, dimana internet merupakan kebutuhan utama baik untuk hiburan maupun kerja tidak orang desa maupun kota kebutuhannya sama didepan internet.
Kembali berbicra sinetron, tidak ada bedanya memang kalau dilihat jaman sekarang memandang sinteron. Saya berkaca pada keponakan-keponakan saya. Anak TK atau anak SD nontonnya "Anak-Anak langit", yang isinya geng, cinta, dan keglamoran". Mungkin karena peradaban saat ini, mengapa sinetron dewasa ini selalu saja mengobjektifikasi bahwa kekayaan, kekuasaan, dan serta kepemilikian barang mewah menjadi bahan mereka bercerita.
Ekonomi yang setabil atau pergeseran budaya telah mengubah hal tersebut. Mengubah kepada hal mendasar cerita sinetron kotemporer dengan wadah semakin menawarkan sikap konsumeris kepada penontonnya. Bahkan menggiring penonton untuk seperti dalam cerita tersebut. Yang didalam ceritanya disisipi prodak-prodak sponsor yang justru mengubur estetika cerita. Bahkan esensinya sering terjadi yang terpenting produknya laku. Â
Tidak mengindahkan realita sosial yang terjadi merupakan ciri sinetron saat ini.
Tatanan kelas ekonomi atas selalu menjadi cermin mereka "sinetron" untuk bercerita.