Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Di Balik Buku "Interpretasi Aku", Menjadi Penulis Bukanlah Cita-cita

21 Desember 2019   06:29 Diperbarui: 21 Desember 2019   06:31 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dokpri

Dari sekain banyak generasi 90-an kini yang menjadi babak baru zaman katanya "milenial" itu. Mungkin bukan menjadi yang selalu dibicarakan ketika pada masa "sekolah dasar" (SD) ditanyakan cita-citanya didepan kelas; kamu mau jadi apa kalau besar nanti?

Kita sebagai generasi milenial memang; tidak ada didalam satu kelas atau sekolah-pun yang menjawab bercita-cita sebagai penulis. Saat itu cita-cita generasi milenial masih terpatri pada profesi-profesi mentereng yang di-idealkan oleh orang tua masing-masing; yakni jika belum menjadi Dokter atau menjadi Guru, TNI dan lain sebagainya belum termasuk dalam mewujudkan cita-cita.

Namun pada kenyataannya, menjadi apapun cita-cita tersebut, bukan dengan mudahnya hanya terucap saja dari angan-angan anak sekolah dasar. Saat itu, semua berhak berimajinasi sesuai apa yang di imajinasikan; namanya jugu anak-anak, kita dahulu juga seperti itu, semakin mentereng profesi disuatu tatanan masyarakat semakin kita dianggap pintar oleh orang tua atau guru-guru kita.

Aku ingat bagaimana "aku" dengan lantangnnya ingin menjadi tentara ketika aku besar nanti--- sewaktu dulu maju didepan kelas. Terkadang aku juga berpikir jika sedang menjadi bermain sepak bola ditanah lapang dengan teman-teman sebayaku, walaupun kemampuanku mengolah sikulit bundar itu biasa saja. Saat itu aku berpikir, aku juga ingin bercita-cita menjadi pemain sepak bola yang bermain di Stadion megah sekelas Negara Jerman, "Eropa" lebih luasnnya.

"Tetapi imajinasi itu tetap hanya akan menjadi "imajinasi" ketika memang dari dalam imajinasi itu sendiri tidak diusahakan dengan langkah kaki untuk diwujudkan oleh manusia"

Setelah kita besar menjadi mengerti betapa kerasnya kehidupan jika tidak ada modal "uang" didalam mengapai cita-cita tersebut. Semua butuh uang, itulah kesadaran pertama saat kita sudah mengerti betapa "uang" itu adalah cita-cita tersebut. Tiada perwujudan cita-cita tanpa kendali uang-uang disana, bahkan untuk menerbitkan sebuah buku untuk penulis pemula.

Memang cita-cita manusia tidak berbentuk uang, tetapi harus disadari "uang" itu adalah daya dari pembelian suatu cita-cita. Maka dari itu; bukankah kita kini sadar berapa biaya untuk kuliah kedokteran sehingga dapat menjadi dokter? Atau menjadi Polisi, Tentara, dan lain sebagainnya yang katanya "gratis" namun tetap bayar-bayar juga, sogok sana-sini untuk memuluskan langkah kaki sehingga dapat "menjadi"?

Inilah yang lepas dari gambaran bahwa; "tidak ada yang membatasi imajinasi itu sendiri, meskipun itu hanya angan-angan dari anak sekolah dasar". Karena pada dasarnya bercita-cita yaitu: kita manusia sedang berbicara tentang kearifan dan keluhuran ingin seperti apa kita nantinya dalam menjadi manusia yang bermasyarakat sebagai bagian dari menjalani hidup itu sendiri.

Mungkin dalam satu babak berikutnya; kita menyadari bahwa realita kehidupan kita saat itu orang tua tidak punya uang sebanyak biaya untuk kuliah, mendaftarkan sebagai aparat, atau mungkin mengakomodasi setiap kebutuhan passion kita. Dalam kesadaran kekecewaan itu, mungkinkah sebagai manusia berpangku tangan pada keadaan yang tidak menguntungkan ketika tidak ada modal didalammnya guna mengapai setiap dari apa yang menjadi cita-citanya?

Bukankah dalam menjadi manusia kita harus menemukan potensi kita sebagai manusia? Dan tentang modal dalam bentuk uang itu, apakah masih relevan dengan; "untuk" membayar semangat kita untuk mengejar cita-cita yang lebih realistis dan efisien tanpa modal banyak didalammnya? Sesempit-sempitnya Gang dalam kampung itu sendiri, setidakknya masih disediakan jalan untuk manusia lewat agar sampai rumahnya

Menjadi Penulis Buku "Interpretasi aku" bukan cita-citaku dulu

Tetapi siapa yang bisa merubah mata angin jika bukan angin itu sendiri yang merubahnya. Tentu ini adalah metafora bagaimana manusia menemukan apa yang menjadi titik pijaknya hidup, jika bukan dirinya sendiri yang mencarinya siapa lagi untuk mengubah nasibnya dirinya? Sepertinya menjadi sesuatu, memang kita harus mencari sesuatu itu, tanpa lelah, tidak berhenti berusaha, dan terus berjuang didalam keadaan apapun---- termasuk kegelisahan yang setiap saat dapat mendera hidup manusia.

Dan menemukan diri dengan menulis, itu bukanlah pertanyaan yang dapat dijawab dengan mudah oleh diriku sendiri, yang secara tidak sadar bisa menciptakan suatu karya "setidaknnya dapat dibanggakan didalam waktu kehidupanku" Buku "Interpretasi Aku" ini. Bangga atau tidak bangga, setidaknya inilah karya----karya dari manusia yang hidup didalammnya.

Karena menulis bukanlah sesuatu yang menabjubkan, semua orang rata-rata bisa menulis, tetapi dalam ketekunan menulis itu sebagai terapi dan teman--- itulah yang terkadang tidak semua orang menambatkan "aktivitas" menulis bisa dijadikan rekan berbicara, mendengar, bahkan menghibur dirinya ketika ada dalam masa-masa perasaan yang sulit.

Aku kira mengapa penulis bukan menjadi cita-cita karena dengan kadar menjadi dan berlabel penulis professional itu tidak mudah. Bukan aku secara tesembunyi dalam hatiku mengakui sudah menjadi penulis professional, belum, hanya saja, menulis sendiri bagi diriku melampaui professional ----- sebab ia bukan hanya bicara dengan kerja, tetapi berbicara dengan dirinya untuk dimengerti dirinya sendiri sebagai "riwayat" perasaan yang ingin direkam oleh dan untuk dirinya sendiri.

Menulis dengan orisinil dan tidak dapat ditiru maupun meniru, secara misteriuslah seorang penulis itu bekerja termasuk diriku menangkap suara-suara anak rohani ----- yang mengelegar hingga ia ingin ditulis untuk dipelajari dirinya lagi. Karena bukan hanya itu, menurutku juga, siapapun yang berprofesi sebagai penulis mereka merupakan orang-orang yang gagal secara "sosial", untuk menerangi manusia yang sama-sama gagal juga secara sosial pada akhirnya. 

Jika benar manusia itu berjiwa dan benar berjiwa-jiwa sebagai penulis, mereka merupakan manusia yang berkepribadian soliter, aneh, dan tidak nyambung dengan pembicaraan yang ringan-ringan termasuk sesuatu yang sedang menjadi tren. Berbeda ketika seorang penulis itu mengkaji sebuah tren itu sendiri.

Mereka yang benar berjiwa penulis juga gagal menjadi orang kebanyakan yang tertarik mengejar karir di perusahaan, karena mereka ingin bekerja dengan keunikan mereka sendiri, berkreatif tiada henti. Apalagi dalam cinta, ia bisa menulis sepuitis apapun juga dalam menggoda cinta, tetapi ia bukan merupakan orang yang percaya terhadap dirinya dalam menjemput cinta. Tetapi dengan kesejatian dari cinta itu sendiri, secara naluriah dengan penerawangan intuisi mereka "penulis" sudah mengetahuinya meskipun hanya sebatas teori akan dasar-dasar cinta itu sendiri.

Arah angin itu yang sudah men-cap dengan tinta lebih dari 450 halaman buku "Interpretasi Aku", bahwa cita-cita mungkin adalah sesuatu yang dapat tercipta. Dan sesuatu yang sudah tertulis itu walapuan bukan cita-cita sejak kecil untuk menjadi penulis, namun aku sudah berada pada tahap ini dan sedang menggeluti didunia kepenulisan ini.

Menjadi manusia yang bercita-cita, apakah tidak sebaiknnya cita-cita diinginkan ketika sudah dapat berpikir dengan nalar supaya tidak terjadi anomali pada cita-cita itu sendiri seperti; angan-angan anak sekolah dasar dulu generasi 90-an? Cita-cita yang tersadari merupakan riilnya cita-cita, karena saat ini yang jelas; "aku sudah bisa menulis, merasa lebih hidup dengan menulis, sebaiknya mungkin benar, aku harus bercita-cita sebagai penulis professional yang hidup dan kerja dari menulis mulai saat ini".

Berharap pada buku memberi aku arti kehidupan, juga harapan buku karyaku untuk sampai ke Jerman di Festival Buku di Frankfurt dimasa depan. Sungguh cita-cita sesungguhnya adalah ia yang sebelumnya atau dimasa kecil tidak kita sebutkan didepan kelas. Benar, nyatanya cita-cita merupakan gambaran sesuatu yang manusia sukai sebagai sebuah profesi, dan apakah kebanggan ada ketika kita berseragam mentereng dalam profesi sosial tetapi tidak bahagia menjalaninya?

Seberapa banyak dan sedikit uang itu, meskipun semua membutuhkan uang, arif-lah untuk tetap bercita-cita dengan daya upaya yang bisa kita lakukan. Selama langkah kaki dapat melangkah suatu saat pasti akan sampai kesana. Manusia pemimpi: "beranilah terus dalam melangkahkan kaki, meskipun tanpa rencana, langkah kaki akan tetap dapat mengantarmu untuk sampai tujuanmu".  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun