Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Manusia, Jadilah Dirimu Sendiri

24 Oktober 2019   18:19 Diperbarui: 28 Oktober 2019   09:18 1604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com

Seyogianya apa yang perlu diingat dalam menjadi pribadi manusia? Kompleksitas merupakan bagian di mana manusia itu dilahirkan. Terkadang keadaan atau sifat-sifat yang mereka jalankan sebagai manusia sendiri tidak dapat menyadarkannya.

Terlihat memang ia "manusia" ingin baik dan mungkin "dicintai" oleh manusia lain, tetapi apakah perspektif orang lain dapat menjadi sebuah pijakan dalam ukuran menjadi diri manusia itu sendiri?

Tentu semua manusia terlahir sebagai autentik dirinya, dan sepertinya konsekuensi memang memilih dalam menjadi satu manusia. Jika manusia punya cara bersikap atau sifat itu; di sisi lain ia tidak punya sikap-sikap lainnya. Karena bukakah menjadi manusia tidak dapat menjadi sempurna (komplet)?

Setidaknya itulah pendapat dari manusia-manusia yang sifat dan sikapnya diagungkan dan cara hidupnya ditiru oleh banyak orang saat ini melalui lembaga-lembaga.

Manusia dan penderitaan, mungkinkah karena itu ia mengejar suatu kebahagiaan? Seperti yang dapat kita lihat disudut berbagai media sosial sana, semua orang terlihat menginduk dengan minat-minat yang mereka inginkan demi mencari kebahagiaan mereka. 

Manusia bermain game, mengikatkan diri pada komunitas seperti motor atau mobil, juga pada agama yang mereka anut keberagamaannya. Tentu semua mengejar mempunyai arti dan bahagia sebagai manusia melalui berbagai kegiatan yang menyenangkan bahkan menentramkan hati.

Tidak lebih manusia hidup hanya untuk menyadari apa yang kurang dari dirinya dan yang tidak dapat mereka wujudkan. Jelas, di sini supaya timbul kesadaan akan ketidaksempurnaan itu menjadi manusia. Bahwasanya di setiap kekurangan manusia tersebut; di sana pasti ada titik kebanggaan dan kebahagiaannya sebagai manusia. 

"Manusia kurang karena ia punya kelebihan dan sebaliknya".

Maka tidak lebih menjadi manusia dari kisah-kisah para yang dianggap suci itu, atau para pertapa yang dinilai mempunyai kecakapan batin dalam menjadi manusia menanggapi: bagaimana sebenarnya menjadi manusia? Tanpa takut? Gelisah? Bahkan khawatir pada dirinya sendiri?

Dan karena kebijaksanaan dalam menangapi fenomena menjadi manusia itu sendiri tidak jarang: mereka teranggap sebagai guru oleh manusia lain untuk menjadi jalan penerang yang sama-sama menerangi.

Bukankah dalam akan mencapai titik tersebut sebagai manusia suci yang menerangi batin sendiri mereka harus mengasingkan diri dari manusia lain dan berkelana mengenal selain manusia?

Untuk tahu bagaimana posisi sebagai manusia itu sendiri seharusnya? Juga bagaimana dengan jalan yang mereka tempuh, bukankah berbeda bagi manusia lain merupakan hal yang aneh dan beda?

Inilah repotnya menjadi seorang manusia ketika yang menjadi ukuran adalah orang lain selain dirinya sendiri.

Bukankah bagi para bijak diangap sebagai aneh dan beda mengapa memilih jalan hidup sebagi pertapa mecari kebijakasanaan sebagai manusia di hutan, goa, dan lautan? Padahal ia bisa menjalani hidup dengan bersenang-senang dengan orang lain tidak hanya dengan dirinya sendiri?

Namun pilihan yang manusia harus pilih dalam hidup, yang kadang jalan kebahagiaan manusia tidak harus sama. Mungkin di lain manusia sana bahagia dengan hobi motornya, bahagia dengan gamenya, dan tentang para manusia yang mengasingkan diri di sana, itulah bagian dari kebahagiaannya dan misinya sebagai manusia.

"Manusia punya cara hidupnya masing-masing dalam membuat kebahagiaannya, saya kira itu seperti takdir yang mereka "manusia" itu buat sendiri. Memang kebahagiaan dan kesengsaraan yang mau tidak mau harus diterima manusia tidaklah abadi, tetapi bukakah hanya kebijaksanaan dalam menanggapi itu yang dibutuhkan manusia untuk sadar bahwa; ada kekurangan akan ada pula kelebihan"?

Kisah dari bagaimana yogi kecil dari India bernama Nilkhan karena ketekatannya ingin menjadi seorang pertapa ia berjalan, bahkan mengapung menyusuri sungai, bahkan tidur di alam liar yang mengancam keselamatan dirinya dari binatang buas.

Bukankah menjadi sesuatu yang aneh bahkan berbeda dari kebanyakan, mengapa anak sekecil itu menginginkan menjadi pertapa di kala ia bisa saja bersenang-senang dengan temannya dan tetap menjalani hidup bersama keluarganya namun menjadi seorang pengelana?

Tetapi kembali lagi menjadi manusia tetap perkara minat; mangkin itu adalah janji jiwanya pada kegaiban itu. di mana sesuatu yang didasari dari niat selalu saja menjadi batu sandungan manusia untuk tetap melakukannya, tidak ada alasan, tidak ada pula janji, mereka yang berniat menjadi berbeda sebagai manusia merupakan orang-orang yang terpilih menjadi sesuatu.

Dan benar saja bahwasanya Nilkhan tonggak baru ketokohan spiritual india, dimana dalam pelajarannya menjadi manusia: "sebenarnya masalah manusia adalah ketakutan yang mereka pikirkan sendiri karena belum merasakannya" 

Kata "Gaman" jika ditafsirkan dalam wacana filosofis; mungkin secara mudah untuk dimengerti merupakan pengaman-aman bagi manusia. Dalam konteks tidak lagi bergejolak seperti perang-perang yang lalu di jaman feodalisme tanah Jawa, apakah Gaman-gaman ini masih relevan? Tentu tidak!

Tetapi sebagai bagian dari sejarah hidup manusia; sesuatu itu selalu terkait, dan apa yang sedang saya pikirkan tentang gaman ini? Hidup manusia: butuh rasa aman! Pertanyaannya: belum-kah diri manusia itu aman dengan hanya membawa dirinya sendiri sebagai "Gaman" hidup di setiap jamannya termasuk; "jaman yang katanya modern ini sebagai bagian dari: dalam hidup menjadi manusia tidak perlu takut"?

Benar dan manusia harus percaya ada sesuatu yang lalu dalam setiap cerita hidup ini. Tentang bagaimana berjalan dengan kenyataan itu sebagai manusia: apakah wacana berpikir sebagai bentuk kesadaran manusia dapat disepadankan? Tentu semua berada pada levelnya masing-masing seperti situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat itu digambarkan.

"Yang kini sedang belajar sebagai rahmat bagi pribadi, bukankah terdekat adalah untuk mencapai level rahmat bagi keluarga? Kemudian rahamat bagi sesama manusia, selanjutnya rahamat bagi alam semesta? Saat itulah nanti dimana; "manusia datang dan kembali sebagai insan membentuk kemanunggalan antara hamba dan Tuhannya". 

 Tentang apa yang ingin dilakukan dan membuat manusia bahagia didalamnya: merupakan sebuah bakti pada kemanusiaan. Bukankah sangat manjadi tanya, mengapa terus berpikir dan membuat keterasingan pada hidup itu sendiri dengan apa yang sedang digeluti seperti yang dilakukan oleh Yogi muda dari India itu?

Kembali pada yang tidak terketahui, mungkin mereka yang mengejar dirinya bahagia pada yang telah terkejar sebagai misi jiwanya, meskipun hanya menjadi kepuasan dalam berkarya sebagai manusia dan tidak mengubah apa-apa, tetapi satu manusia harus percaya setiap perbuatannya pasti akan tumbuh dan  berbuah.

"Ketika manusia merasa dirinya berbeda dengan manusia lain; saat itulah mereka "manusia" menciptakan jarak itu untuk sama-sama menjadi manusia. Memang hidup ini membawa diri masing-masing, tetapi; saat manusia dihadapkan dengan manusia lain, apakah harus tidak berdiri sama tinggi, dan duduk sama rendah dalam menjadi dirinya sendiri dengan apa yang membuat manusia lebih berarti menjadi manusia itu sendiri? Padahal di dalam diri setiap manusia menerangkan bahwa; "Manusia terakui secara alamiah sebagai Raja bagi dirinya sendiri, yang ingin diperlakukan dengan setara menjadi sesama manusia, apapun preferensi hidupnya"

 

Lebih dari satu beribu-ribu tahuan yang lalu, awal dalam bentuk pengelanaan-pengelanaan sebagai manusia itu: Tersirat; jadilah manusia dari bawah sekaligus dari atas! Dari bawah ketika sudah tidak ada lagi yang ditinggikan sebagai manusia.

Dari atas; "ada pada saat kerelaan memanggil untuk berbagi tentang apa yang dapat manusia bagi dalam kehidupan ini". Sesungguhnya semua manusia dengan berbagai kesadarannya merupakan bentuk dari berbagi itu, yang baik dan buruknya tetap adalah penerang  bagi manusia lain.

Tentang seberapa hasil dari hidup yang dapat manusia itu tumpuk; untuk: "menjadi kebanggaannya sendiri dalam menjalani hidup ini". Tetapi yang dinamakan kebutuhan, dan menjadi sesuatu terus berlalu itu; akan habis pada masanya! Terkejar dan dikejar: mungkin ini bukanlah yang dinamakan terabadikan.

Namun bagaimanakah dengan saat-saat, dimana ini akan menjadi kenangan akan waktu? Sepertinya yang membekas dari hidup manusia adalah: terkenang dalam mengais serpihan pengalaman hidupnya sendiri. 

Seperti jalur rel kereta api ini terlihat masih lurus, namun yang tidak tersadari itu: bagaimanakah jalan menuju jiwa kita sendiri? Karena tentang yang terlihat; kelokan liar dalam angan pikiran manusia, mungkinkah akan sampai pada yang terketahui?

Menjadi manusia waskita; setidaknya "alasan" mengapa hari ilmu pengetahuan (Saraswati) terus diperingati di Pulau Bali: karena pengetahuan seperti jalan bagi manusia yang dirundung gelap untuk mencapai titik dimana ia bermakna sebagai manusia melalui apa yang menjadi kebahagiaannya!

Buku orang lain adalah neraka yang dikumandangan Jean Paul Satre seperti tanda bahwa menjadi orang lain itu sulit, bahkan sungguh tidak mungkin! Jadi ketika manusia ingin dilihat baik atau dilihat menyenangkan oleh orang lain namun tidak menjadi dirinya sendiri jelas: disini hari-harinya adalah neraka bagi dirinya sendiri.

Terkadang dalam kesendirian menjadi diri itu sendiri. Indahnya pemandangan sunset sore sunguh bisa menawan kalbu. Begitu juga hijaunya pohon-pohon di atas kepala seorang manusia.

Suara itu: membuat terkesan dan takjub menjadi dirinya sendiri sebagai apapun itu. Tentang Burung-burung yang selalu ceria memandang hari-harinya. Mereka bernyanyi-nyanyi dalam menjadi diri, begitupun juga seharusnya manusia menjadi manusia!

Memang: adakalanya menyepi dan berdiri sendirian dalam hidup itu perlu, supaya; "Manusia tahu apa yang ingin disampaikan batinnya sendiri, tentang cipta, karsa, dan rasanya sebagai manusia". Sama seperti adanya Pohon, Burung, dan Sunset dalam mengindahkan dunia yang sudah indah ini; untuk lebih di indahkan lagi!

Maka jadilah dirimu sendiri sebagai apapun dirimu dan ingin menjadi apa dirimu. Level setiap pribadi berbeda dan tingkat kebahagiaan karena apa setiap pribadi tentu berbeda-beda pula. Hidup yang paling memberatkan manusia sendiri adalah bukan menjadi dirinya ,lalu berusaha merubah seperti apa yang orang lain harapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun