Tergerumul pada angan, bukan saja ini akan menjadi tanda tanya  besar: karena akhirnya semua akan tetap menjadi tanya yang terus ditanyakan oleh manusia. Memang seperti yang sudah terlahir sebelumnya, ia "manusia" bukan saja akan merepresentasi dirinya tetapi juga mereperesentasi apa yang menjadi kesenangannya.
Tentang kesenangan; apakah dapat disandingkan dengan kebahagiaan? Sepertinya akan menjadi jelas; benar kesenangan adalah kebahagiaan itu sendiri. Seperti orang-orang yang senang pada kebercandaannya, mengobrol tentang dirinya, dan berbagi kisah-kisah dalam bentuk hal yang dapat membuat orang lain tertawa. Tentu semua hal itu merupakan: " tentang apa yang menjadi kesenangan hidup manusia".
Setitik tanya ini, bukan lagi: mungkinkah mereka "manusia" senang? Apakah mereka benar-benar senang? Adakalanya pemasangan raut wajah manusia dalam menjadi dirinya sendiri terkadang memang menipu, ya: sepertinya semua orang memang terlahir untuk menjadi penipu. Jelas disini yang ditipunya adalah diri mereka sendiri, manusia dapat berucap, dapat berpikir, tetapi mempertanyakan diri sendiri dalam merasa.
Jadi bagaimana dengan kedalaman manusia? Bukan kedalaman pada isi bicaranya, tetapi pada kedalaman "isi" dari setiap rasa-rasanya sendiri. Ini memang akan menjadi sebuah jejak, manusia memang butuh keluar untuk masuk ke dalam, tetapi; yang terkadang menipu itu, manusia sering berada diluar bahkan untuk yang dalam: ia pun hanya didalam, tidak sedikit untuk menuju keluar dirinya sendiri. Sepertinya keterbatasan itu bukan ada pada manusia, tetapi pada keadaan lahir mereka; dimana mereka menemukan manusia ketika menjadi sesuatu yang diinginkannnya termasuk membangun kesenangannya sebagai dirinya.
Bagi manusia, keseimbangan tetap akan menjadi sebuah beban, dan apa yang kurang sebagai manusia? Mereka manusia merasa, yang kurang bukanlah apa yang membuat mereka senang tetapi sesuatu yang membuat mereka merasa kurang sebagai manusia. Saat manusia ekstrovert harus menjadi introvert, begitu juga dengan sebaliknya. Apakah mereka senang jika bukan menjadi dirinya sendiri yang tengah menjadi kekurangan sebagai representasi hidup itu saat nyaman dengan lingkungan kecil dan harus berada dalam lingkungan yang ramai?
Inilah beban hidup, tetapi setiap manusia: tidak senang jika ada yang kurang dari dirinya sendiri. Karena tetap ia menginginkan sesuatu untuk mengutuhkan dirinya dalam kesenangan dan manusia akan terus dalam ketidakpuasan jika mereka harus melihat bagaimana orang lain dalam merepresentasi hidupnya, yang menurutnya lebih senang dari pada dirinya sendiri.
Terkadang dalam diam itu mereka: " manusia" bertanya; bagaimanakah menjadi ramah? Seperti apa menjadi ceria? Dan bagaimana menjadi pencerita yang baik didalam kerumunan banyak manusia? Tentu agar menjadi pribadi yang menyenangkan, tetapi apakah praktis pribadi yang menyenangkan hidupnya itu senang?
Berbagai pertanyaan ini jelas; ditanyakan oleh orang-orang yang kurang kadarnya sebagai orang yang pendiam, sinis, dan cenderung hanya menjadi pendengar, sama sekali bukan pribadi yang menyenangkan ideal menurut pandangan banyak orang. Tetapi; dikala ada di kerumunan kecil: ia sanggup juga menjadi dirinya sendiri sebagai pembicara. Jadi bagaiamana dengan arah penafsiran ini? Apakah memang pribadi yang tidak menyenangkan akan merasa senang saja, atau mungkin hanya orang yang menyenangkan yang merasa senang hidupnya?
Tafsir memang merupakan sebuah pertanyaan, dan manusia itu sendiri seperti bayang-bayang yang selalu membayangkan tentang apa yang kurang, dan dianggap dalam angannya sebagai kesenangan (kebahagiaan). Seperti yang sendiri ditafsir dalam angan menjadi bersama, apakah akan sesuai dengan tafsiran angannya itu: saat bersama menjadi bahagia? Memang adakalanya dipertanyakan, namuan hasrat yang kurang, apalagi akan dianggap sebagai kebahagiaan: ini merupakan tujuan manusia karena " sepertinya tujuan hidup manusia adalah rasa penasarannya sendiri, terhadap apa yang belum pernah ia rasakan didalam hidupnya saat masih sebagai manusia".
Jika dirasa  dalam kenyataannya, bukankah didalam realitas itu tidak pernah akan menjadi abadi? Dimana terkadang keabadian antara relitas dan angan "fiksi" harus disandingkan agar: bukan untuk mencari sesuatu yang abadi melainkan sesuatu yang dapat saling mendistorsi agar manusia terima dengan angan dan realitasnya termasuk; untuk hidup bersanding dengan senang maupun susah, yang harus mereka jalankan sebagai manusia?
Yang memang benar adanya, fiksi atau pengangan-angan lebih indah dari kenyataan itu sendiri, sebab dengan fiksi manusia dapat mendistorsi kenyataan, begitupula kenyataan; hanya dapat dilawan dengan mendistorsi juga menjadi sesuatu yang indah-indah dalam bayangannya atau berfiksi.
Sikap dan manusia, berbagai prinsip kehidupan yang harus mereka bawa; seperti menunjukan suatu kebenaran itu, bawasannya pertanyaan manusia untuk menjadi manusia secara utuh memang menjadi sesuatu yang dikejar. Tetapi mau hidup dialam apapun baik realitas maupun fiksi itu sendiri; tetap manusia mengejar diantara tiga hal; yakni apa yang membuat mereka senang karena: kesenangan adalah kebanggaan.
Tiga hal tersebut seperti yang diutarakan dalam Serat Wedhatama atau ajaran utama bagi manusia Jawa dimasa Kerjaaan Mataram waktu itu. Tentu yang menciptakan sendiri serat-serat tersebut adalah KGPAA Mangkunegara IV. Beliau menulis; setidaknya dalam hidup manusia harus punya kewibawaan, Kemakmuran, dan ilmu pengetahuan. Jika manusia tidak punya salah satu ketiga unsur tersebut, masih berharga daun jati kering dari pada manusia; karena tanpa ketiga unsur tersebut manusia akan menjadi miskin dan mengelandang atau "tidak punya aji sebagai manusia".
Tetapi  dasar- dasar dari ketiga unsur tersebut bukalah untuk dipahami secara tekstual, namun harus dipahami juga secara mendalam dimana; ketiga unsur tersebut hanyalah alat yang digunakan sebagai daya hidup manusia untuk tidak jatuh kepada lubang yang lebih dalam yakni; kepada penderitaan hidup itu sendiri sebagai manusia.
Kewibawaan (keluhuran)
Kewibawaan atau keluhuran secara mudah dipahami adalah jabatan. Pertanyaannya siapa manusia saat ini yang tidak mau punya jabatan (kedudukan) yang tinggi? Karena dijaman sekarang posisi menjabat baik di lembaga pemerintahan atau lembaga kerja swasta secara langsung mempengaruhi pendapatan manusia.
Saya bukan lagi menduga tetapi sudah secara definitife semua orang menginginkannya. Tetapi yang saya tafsir dalam Serat Wedhatama tersebut bahwa; bukan semata-mata menjadi manusia hanya yang dikejar menjabat saja tetapi juga harus punya keluhuran dalam sikap memegang jabatan itu sendiri.
Banyak saat ini orang memegang jabatan tertentu; mereka tidak mengerti keluhuran dalam memangku jabatan tersebut. Bawasannya memegang kendali jabatan mereka "manusia" juga harus tahu bahwa; jabatan tersebut esensinya digunakan untuk melindungi, mensejahterakan, bahkan menjadi payung bagi kemaslahatan umat manusia didalamnya.
 Kemakmuran (kekayaan)
Kemakmuran bukan hanya menjadi tujuan manusia dalam mengisi kehidupan tetapi sudah menjadi sesuatu yang harus diwujudkan. Untuk itu manusia kerja siang dan malam bahkan menganggap waktu mereka adalah uang. Yang menjadi pertanyaan mungkinkah menjadi manusia utama dalam serat wedhatama hanya sampai pada makmur atau kaya saja?
Lagi-lagi apa yang terkadung dalam setiap ajaran keutamaan menjadi manusia merupakan alat. Karena tentu setiap apapun alat itu, seyogyannya digunakan untuk memudahkan dirinya dan manusia lain. Dari atas untuk dibagikan ke bawah begitu pula tafsir atas kemakmuran yang harus manusia raih agar hidup dapat berharga bagi dirinya dan manusia lain didalam Serat Wedhatama tersebut.
Namun keserakahan dalam menjadi manusia itu sendiri yang terkadang menutup suatu ajaran-ajaran keutamaan sebagai manusia. Sifat serakah yang manusia miliki, cenderung abai pada nasib manusia lain di sekitarnya, maka dari itu keutamaan dalam Serat Wedhatama untuk menjadi manusia yang berharga adalah mau membagi kemakmuran kepada sesama agar hidup manusia berarti bagi manusia lain.
Ilmu pengetahuan
Sebagai manusia belajar dan mencari pengetahuan untuk bekal hidup memang sangat penting. Tentu karena dengan ilmu pengetahuan manusia bukan hanya akan tahu tetapi dapat membentuk hidup menjadi bijaksana.
Dalam ngelmu sendiri atau mencari ilmu, pada hakekatnya juga bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga harus dibagikan pada manusia lain yang belum tahu pengetahuan tersebut. Agar yang berilmu (berpengetahuan) berbagi pada yang belum tahu tentu untuk sama-sama menciptakan tatanan hidup yang baik di dunia. Sebab hanya ilmu pengetahuan yang cukup dapat meningkatkan kesadaran sebagai manusia.
Maka tidak heran dalam Serat Wedatama sendiri terkandung prinsip manusia hidup itu harus setidaknya mempunyai satu dari ketiga unsur tersebut yakni: kewibawaan, kemakmuran, dan ilmu pengetahuan. Tentu untuk dapat hidup lebih bermakna sebagai manusia agar hidupnya lebih berharga. Yang harga dirinya sebagai manusia tersebut karena baktinya baik dalam hal kedermawanan akan kebaikan berbagai kemakmuran, keluhuran dalam kewibawaan, dan memberi pencerahan pengetahuan bagi sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H